Alissa Wahid: Hari Ibu Berawal dari Khidmat Berbangsa
Selasa, 22 Desember 2020 | 03:15 WIB
Aru Lego Triono
Kontributor
Jakarta, NU Online
Hari ini, masyarakat Indonesia memperingati sebuah momentum berharga yakni Hari Ibu. Peringatan terhadap peran perempuan di dalam keluarga itu merujuk atas terselenggaranya Kongres Perempuan pada 22 Desember 1928. Sekira 600 perempuan dari berbagai perhimpunan di Nusantara berkumpul.
Dengan serius pula, para ibu itu membincangkan upaya meningkatkan derajat dan ikhtiar meningkatkan kiprah perempuan dalam gerakan bangsa, masa itu. Tanggal ini kemudian ditetapkan oleh Presiden pertama Republik Indonesia Ir Soekarno sebagai Hari Ibu.
“(Peringatan Hari Ibu itu) menimbulkan diskursus sampai saat ini. (Sebab) aspirasi perempuan belum sebanding dengan aspirasi laki-laki dalam pengembangan kebijakan program dan layanan masyarakat,” demikian diungkap Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) Alissa Wahid dalam tulisannya yang berjudul Ibu Bangsa dalam Udar Rasa di Harian Kompas edisi Ahad (20/12).
Menurutnya, sebagian kaum intelektual dan pegiat gerakan keadilan gender menolak istilah Hari Ibu karena lebih dekat dengan istilah Mother’s Day yang menjadi hari penghargaan terhadap ibu biologis. Namun demikian, peran ibu biologis juga diamini sebagai sebuah peran yang fundamental. Oleh karena itu, Alissa mengajak untuk memaknai ulang peringatan Hari Ibu ini.
“Penyebutan Hari Ibu dicemaskan menimbulkan pemaknaan yang menyempit dalam konteks peran domestik,” jelas putri sulung KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini.
Padahal, lanjut Alissa, Hari Ibu pada setiap 22 Desember ini berasal dari semangat khidmat berbangsa. Para perempuan telah menyelami peran dan sumbangsihnya bagi bangsa dan negara Indonesia. Bukan hanya bagi anak-anak dan keluarga di rumah.
“Di zaman ketika secara global kepemimpinan perempuan menemukan momentumnya, kita perlu memaknai ulang Hari Ibu. Bukan hanya sebatas Hari Ibu dalam peran keluarga,” jelas Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian ini.
“Tetapi sebagai Hari Ibu Bangsa, yang merawat anak-anak dan kehidupan bangsa. Dengan penghargaan ini, niscaya khidmah perempuan akan makin kuat,” katanya.
Penempatan perempuan pada posisi yang tidak setara
Lebih jauh Alissa mengatakan bahwa fakta saat ini masih terdapat banyak praktik yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih lemah dan tidak setara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kondisi tersebut semakin diperparah dengan meningkatnya ultrakonservatisme agama dalam masyarakat. Misalnya, Alissa menyebut, praktik nikah siri yang bahkan terlindungi oleh negara. Di samping itu, akses terhadap pendidikan belum juga seimbang sehingga banyak perempuan tidak dapat mengembangkan potensi diri secara maksimal.
“Perkawinan anak masih marak terjadi. Angka kematian ibu juga masih sangat tinggi. Kekerasan terhadap perempuan meningkat terus, sedangkan perlindungan masih minimal,” jelas Alissa.
Bahkan, ia menyebut bahwa upaya penguatan perlindungan terhadap perempuan melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) pun masih diganjal oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Data perkawinan anak di Indonesia
Dikutip NU Online dari situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), data perkawinan anak dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik pada 2018 mencapai 1,2 juta kejadian.
Dari jumlah tersebut proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun adalah 11,21 persen dari total jumlah anak. Artinya sekitar satu dari sembilan perempuan usia 20-24 tahun menikah saat usia anak. Jumlah itu berbanding kontras dengan laki-laki yang hanya satu dari 100 laki-laki berumur 20 – 24 tahun menikah saat usia anak.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo menargetkan akan menurunkan angka perkawinan anak dari 11,21 persen menjadi 8,74 persen pada 2024. Hal tersebut dimandatkan kepada Kemen PPPA agar mampu melakukan pencegahan perkawinan anak.
Menteri Kemen PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengakui bahwa perkawinan anak akan berdampak pada meningkatnya risiko putus sekolah, pendapatan rendah, kesehatan fisik akibat anak perempuan belum siap hamil, dan melahirkan.
Oleh karena itu, saat ini Kemen PPPA pun tengah menyusun Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan UU Perkawinan. Penyusunan itu lantaran telah ditetapkannya UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu usia minimum perkawinan menjadi 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan.
Angka kematian ibu
Dilansir dari Lokadata, setiap hari pada 2017 sekitar 810 ibu di dunia meninggal akibat persalinan. Sekitar 94 persen dari semua kematian ibu terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, penyebab langsung kematian ibu terjadi saat dan pasca-melahirkan. Angkanya mencapai 75 persen kasus kematian ibu diakibatkan oleh perdarahan, infeksi, atau tekanan darah tinggi saat kehamilan. Penyebab lainnya adalah persalinan aborsi yang tidak aman. Sisanya, disebabkan karena penyakit seperti malaria dan kondisi kronis seperti jantung dan diabetes.
Data World Bank juga mencatat bahwa Indonesia menduduki posisi ketiga angka kematian ibu pada 2017 dengan 177 kematian per 100 ribu kelahiran.
Dari 10 negara ASEAN, baru setengahnya yang melampaui target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada 2030, yakni kurang dari 70 per 100 ribu kelahiran. Dengan penurunan rata-rata sekitar 3 persen per tahun, Indonesia harus bekerja lebih keras untuk mendekati target tersebut.
Data kekerasan terhadap perempuan
Dilansir dari Jurnal Perempuan, Catatan Tahunan (Catahu) 2020 Komnas Perempuan mencatat sepanjang 2019 terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Terdiri dari 421.752 kasus ditangani Pengadilan Agama, 14.719 kasus ditangani lembaga mitra pengada layanan di Indonesia, dan 1.419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan.
Angka kekerasan terhadap perempuan pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 12 tahun, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 792 persen. Di ranah personal terdapat kenaikan angka kasus kekerasan terhadap anak perempuan sebesar 65 persen dari tahun sebelumnya.
Sepanjang 2019 ada 2.341 kasus yang didominasi kasus inses sebanyak 770 kasus. Salah satu kasus inses yang ditangani langsung oleh Komnas Perempuan adalah perkosaan yang dilakukan seorang ayah kepada putrinya.
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, Komnas Perempuan juga mencatat bentuk atau pola baru dari kekerasan terhadap perempuan yakni kekerasan berbasis gender online yang terus meningkat.
Sepanjang 2019 ada 281 kasus yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan. Kekerasan siber meningkat 300 persen dari tahun-tahun sebelumnya. Hasil temuan Komnas Perempuan, anak perempuan dan perempuan kerapkali menjadi korban penyebaran video dan foto porno dari pacar dan/atau orang terdekatnya.
Di ranah publik atau komunitas, ada 3.062 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sekitar 58 persen dari angka tersebut adalah kasus kekerasan seksual. Di ranah publik, perempuan disabilitas juga termasuk korban dari kasus kekerasan seksual itu.
Kemudian di ranah negara, kasus-kasus yang dilaporkan ada 12 kasus. Di antaranya kasus intimidasi jurnalis ketika liputan, pelanggaran hak administrasi kependudukan, kasus pinjaman online, dan tuduhan afiliasi dengan organisasi terlarang.
Kasus siber menyasar pada perempuan peminjam uang secara online. Intimidasi agar perempuan melakukan hubungan seksual atau pelunasan peminjaman.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad
Terpopuler
1
Kronologi Penembakan terhadap Guru Madin di Jepara Versi Korban
2
Prof Kamaruddin Amin Terpilih sebagai Ketua Umum PP ISNU 2024-2029
3
Silampari: Gerbang Harapan dan Gotong Royong di Musi Rawas
4
Inti Ajaran Islam, Tasawuf Jadi Pelita Masyarakat menuju Makrifat
5
Ketua PBNU Ingatkan Kader NU Harus Miliki 4 Karakter Berikut
6
Khutbah Nikah: Menjaga Kehormatan dalam Ikatan Pernikahan
Terkini
Lihat Semua