Nasional

Begini Cara Meraih Kebangkitan Peradaban Islam Nusantara

NU Online  ·  Ahad, 27 Agustus 2017 | 03:01 WIB

Tangerang Selatan, NU Online
Peneliti Islam Nusantara, Ahmad Ginanjar Sya’ban mengatakan, kebangkitan peradaban Islam Nusantara bisa diraih kalau karya-karya ulama Nusantara terus digali dan dikembangkan. Bahkan, ia menegaskan, adalah hal yang mustahil bagi kebangkitan peradaban Islam Nusantara kalau seandainya mata rantai keilmuan para ulamanya tersebut terputus.

“Pemikirannya, sanadnya, segala rupanya, tradisinya terhadap ulama-ulama terdahulu,” kata Ginanjar saat mengisi diskusi bertemakan Mengenal Syaikh Abdul Haq Al-Bantani Al-Makki di Islam Nusantara Center Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (26/8).

Mengutip apa yang disampaikan oleh Malik Bennabi, Ginanjar menyatakan bahwa syarat pertama yang harus dilakukan oleh suatu bangsa jika mereka ingin bangkit adalah dengan menyambungkan jatidiri atau identitasnya dengan warisan pemikiran daripada para pendahulunya.

“Kalau itu tidak dilakukan, maka kebangkitan tidak akan bisa dilakukan,” tegasnya.

Ia menyitir bahwa siapa saja yang tidak memiliki atau tidak bisa mengakses masa lalunya, maka mereka sebenarnya tidak eksis pada saat ini. Sedangkan jika tidak memiliki masa sekarang, maka mereka juga tidak memiliki masa depan.

Oleh sebab itu, imbuhnya, para pemikir Eropa juga melakukan hal yang sama pada masa kebangkita mereka pada abad pertengahan dulu.

Yaitu mereka menyambungkan jatidirinya dengan warisan-warisan pemikiran masa lalunya seperti pemikiran Yunani. Lalu, hal itu dikontekstualisasikan sehingga bisa diserap oleh generasi saat ini.

“Anak-anak Eropa masa kebangkitan mereka pasti tahu siapa pemikir Eropa pada masa skolastik, siapa pemikir Eropa pada masa Yunani, dan seterusnya,” urainya.

Begitupun dengan wacana kebangkita peradaban Islam Nusantara, ia menuturkan, itu adalah hal yang sulit direalisasikan apabila warisan-warisan pemikiran ulama Nusantara dahulu tidak diakses, dikontekstualisasikan, dan dikreasikan kembali sehingga sesuai dengan masakini dan masa depan. (Muchlishon Rochmat/Fathoni)