Nasional AHLUL HALLI (2)

Belajar dari Keruntuhan Syarekat Islam, Demokrasi Hanya Cara!

NU Online  ·  Senin, 6 Oktober 2014 | 07:59 WIB

Jakarta, NU Online
Persoalan yang sering ditanyakan terkait dengan pemilihan tidak langsung atau ahlul halli wal aqdi adalah apakah pemilihan ini menyalahi prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan pengurus cabang dan wilayah NU?
<>
Wakil sekjen PBNU Masduki Baidlawi menjelaskan, rais aam syuriyah merupakan “wilayah khusus” dimana warga atau pengurus tanfidziyah sudah samikna waatho'na (mendengar dan mematuhi), bukan lagi persoalan cabang terlibat atau tidak, karena syuriyah punya legitimasi kuat dalam syariah Islam.

Pola pemilihan ahlul halli ini dicontohkan oleh khalifah kedua Umar bin Khattab. Sebelum meninggal, ia menunjuk beberapa orang untuk memilih penggantinya. Cerita ini kemudian dikodifikasi oleh Imam Mawardi dalam kitabnya Al Ahkamus Sulthoniyah yang kemudian dijadikan landasan oleh para ulama NU terkait kebijakan pemerintahan.

Faktor kedua, kata Masduki, ketika supremasi ulama tergerogoti, maka persoalan kewenangan cabang dan wilayah dalam memilih dipinggirkan dulu. Ketika tantangan politik eksternal begitu kuat, ada alasan dilakukan melalui ahlul hallli wal aqdi.

“Demokrasi itu alat untuk mencapai tujuan. Bisa saja dalam situasi tertentu dilakukan asal secara ideologis tidak terganggu, tetapi ketika ruh dan jantung organisasi terganggu, yang akhirnya jantung organisasi dirampas orang. Ya ngak bisa begitu,” tegasnya. 

Belajar dari Syarekat Islam

Ia menyatakan, organissi NU tidak bisa dibiarkan terlalu terbuka sehingga sembarang orang bisa menjadi pengurus tanpa pernah terlibat dalam proses didalamnya, sementara tantangan di luar semakin keras. 

Kelompok Islam transnasional merupakan tantangan baru yagn harus diwaspadai infiltrasinya dalam lingkungan NU. Di beberapa daerah, sudah terindikasi penyusupan tersebut dan akhirnya bisa dikeluarkan. Orang makin kabur antara NU dan Islam transnasional. Ada yang sudah permisif ‘ngak papa yang penting sama-sama Islamnya’ padahal orientasi politiknya berbeda. 

Ia menyatakan, NU harus belajar dari keruntuhan Syarekat Islam (SI) yang pada zaman kolonial, merupakan organisasi Islam paling besar dan berjaya. Tapi puluhan tahun kemudian habis karena terlalu terbuka, akhirnya ada kelompok SI hijau dan SI merah yang dimasuki anasir-anasir komunis.

“Ini tidak ada urusan demokratis dan tidak demokratis, ini urusannya eksistensi NU untuk masa depannya seperti apa, yang 12-13 tahun lagi sudah 100 tahun. Kalau dibiarkan, NU bisa seperti SI. Jadi orang yang mengurus NU merupakan orang yang betul-betul secara ideologi adalah orang NU, jelas, aswajanya seperti apa, pengkaderannya seperti apa,” tandasnya.

Muktamar Situbondo

Ia mencontohkan pola ahlul halli sudah pernah digunakan dalam muktamar ke-27 NU yang berlangsung di Sitobondo yang akhirnya memilih Gus Dur sebagai ketua umum PBNU.

Masa itu ditandai dengan munculnya kader-kader muda NU yang cemerlang seperti Fahmi Syaifuddin, Gus Dur, Masdar F Mas’udi, Slamet Effendy Yusuf, Ichwan Syam dan lainnya. Dikalangan para ulama, juga ada pikiran baru yang reformis seperti KH Ali Maksum, KH Mahrus Ali, KH As’ad Syamsul Arifin, KH Ahmad Siddiq dan lainnya. 

Kelompok tersebut sangat resah dan gundah dengan kondisi NU yang terlalu terbawa ke politik praktis. Lalu dicarilah cara bagaimana yang memimpin NU memiliki visi yang sama dan sejalan dengan ulama. 

“Kalau dilakukan pemilihan one man one vote, yang akan terpilih lagi Kiai Idham Chalid. Maka dicarilah model pemilihan agar Gus Dur terpilih ketua umum PBNU. Jadi konteksnya begitu. Untuk konteks sekarang, ya alasannya seperti yang saya sebutkan di atas.” (mukafi niam)