Yogyakarta, NU Online
Haul almaghfurlah KH Ali Maksum ke-30, Senin (14/1) diwarnai peluncuran dan bedah buku KH. Ali Maksum: Ulama, Pesantren, dan NU karya Ahmad Athoillah di Hall Room Hotel Al Ashri-Inn. Buku biografi ini diterbitkan oleh Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS).
Acara ini menghadirkan empat pembicara, yakni Djoko Suryo (pakar sejarah UGM), PYudian Wahyudi (rektor UIN Sunan Kalijaga), KH Ahmad Zaim Maksum (pengasuh Pondok Pesantren Lasem), Zuhdi Muhdlor (wakil rais syuriyah PWNU DIY).
“Buku karya Ahmad Athoillah ini akan membawa kita untuk lebih mengenal pernak-pernik kehidupan KH Ali Maksum. Dengan riset yang dilakukannya selama kurang lebih dua tiga tahun ini, kami dari pihak keluarga menyambut hadirnya buku ini,” tutur KH. Afif Muhammad dalam sambutannya selaku perwakilan keluarga Mbah Ali.
Menurut Ahmad Athoillah, buku ini disusun selama dua tahun, sejak 2 September 2016 sampai 3 September 2018. Dalam riset-risetnya, ia mengunjungi perpustakaan-perpustakaan Nasional, perpustakaan UGM, perpustakaan UIN namun tidak menemukan satu pun buku tentang Mbah Ali Maksum. Tahun 1995 sampai 2018 pun baru ditemukan tulisan tentang Mbah Ali paling banyak hanya sebelas lembar, meskipun banyak karya-karya lainnya namun terpisah-pisah dan belum ada karya monumental yang utuh. Dalam buku ini ia menulis dengan mendapatkan data dari arsip-arsip Nasional dan dari keluarga besar Mbah Ali.
“Sebuah karya biografi sejarah yang disusun berdasarkan sebuah kajian yang bersifat akademis, yang berangkat dari perspektif bidang ilmu sejarah yang menggunakan konsep, teori, dan metode. Ingin merekonsuksi atau menghidupkan kembali melalui narasi sejarah sebagai seorang tokoh dan kolektifnya pada lingkungan masyarakat, budaya, dan peradaban bangsanya," ungkap Profesor Djoko Suryo, pakar sejarah dari UGM dengan pemaparan melihat dari perspektif ilmiah.
KH Ahmad Zaim Maksum, keponakan Mbah Maksum, yang juga sebagai santri Mbah Ali, membedah buku dengan cerita-cerita tentang keunikan, keistimewaan dan mengenang kembali sosok Mbah Ali pada masanya. Sementara Zuhdi Muhdlor juga menceritakan bagaimana sosok Mbah Ali dengan kecintaan ilmu dan kecintaannya pada agama, bangsa, dan negara. Mbah Ali telah menyelesaikan persoalan tarik-menarik antara nasionalitas dan religiusitas, yang mana seperti yang dialami oleh beberapa pihak yang masih mempertentangkan keduanya. Mbah Ali juga dengan karakternya yang berhasil menggabungkan antara ketegasan dengan toleransi.
“Perlu ditulis bagaimana alumni-alumni dan santri-santri Mbah Ali yang telah berhasil menjadi lulusan universitas terbaik di dunia, yang berhasil mendirikan pesantren, dan juga menjadi penulis-karena santri terkenal dengan pinter ngafal, tapi lemah nulis," ujar Yudian Wahyudi, santri yang berhasil menjadi rektor UIN Sunan Kalijaga.
Acara ini dihadiri oleh Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, Pengurus Wilayah NU DIY, para kiai dan tokoh masyarakat, serta santri yang mengidolakan keteladanan seorang tokoh besar yang masyhur dengan kealiman dan sikap tolerannya. (Red: Kendi Setiawan)