Nasional

Cadar, Syariat Islam atau Budaya Arab? Ini Penjelasan Kiai Ishom

Sel, 6 Maret 2018 | 08:17 WIB

Cadar, Syariat Islam atau Budaya Arab? Ini Penjelasan Kiai Ishom

Rais Syuriyah PBNU, KH Ahmad Ishomuddin.

Jakarta, NU Online
Polemik pemakaian cadar oleh mahasiswi di perguruan tinggi kembali mencuat setelah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berupaya melakukan pembinaan kepada para mahasiswi bercadar.

Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof Yudian Wahyudi menandatangani Surat Edaran Nomor B-1301/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 perihal Pembinaan Mahasiswi Bercadar.

Surat edaran itu ditujukan kepada Dekan Fakultas, Direktur Pascasarjana, dan Kepala Unit atau Lembaga pada 20 Februari 2018.

Mereka diminta untuk mendata dan membina mahasiswi bercadar dan data diberikan kepada Wakil Rektor III paling lambat 28 Februari 2018.

Namun, mengenai cadar itu sendiri, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Ishomuddin mengatakan, cadar bukan tradisi umat Islam Indonesia.

Kiai muda kelahiran Lampung ini tidak memungkiri, cadar termasuk persoalan fiqih dan penafsiran yang di dalamnya para ulama bisa berbeda pendapat.

“Tetapi yang jelas cadar bukan tradisi bangsa Indonesia,” tegas Kiai Ishom kepada NU Online, Selasa (6/3) di Jakarta.

Menurutnya, cadar merupakan tradisi orang-orang Timur Tengah yang sering dirinya lihat langsung ketika bertandang ke dataran Arab.

Di sana, sambung Kiai Ishom, cadar tidak hanya dipakai orang Islam, orang Yahudi di daerah Yaman juga memakai cadar. “Orang Nasrani ada sebagian yang memakai cadar,” ungkap Dosen UIN Raden Intan Lampung ini.

Jadi, lanjutnya, memakai cadar bukan murni ajaran Islam, akan tetapi juga merupakan budaya orang-orang Arab. Istri Rasulullah, ungkapnya, juga konon dikabarkan bercadar, namun dari suaranya dikenali oleh Rasulullah.

“Jadi silakan bercadar, tetapi jangan berideologi radikal. Itu yang paling penting saya kira. Kalau ada asumsi bahwa cadar adalah ciri radikalisme juga perlu diteliti, apakah hal itu benar atau tidak,” ujar Kiai Ishom.

“Tidak semua yang bercadar adalah radikal,” tegasnya.

Namun, menurutnya, kelompok bercadar ini memunculkan sekat dan cenderung bersikap eksklusif (tertutup) dengan mahasiswa-mahasiswa lain. Sebab itu, ia mendukung pihak UIN Sunan Kalijaga untuk melakukan pembinaan terhadap mahasiswi bercadar. (Fathoni)