Nasional

Cara Anak Muda Mengikis Intoleransi di Dunia Pendidikan  

Jum, 31 Januari 2020 | 17:30 WIB

Jakarta, NU Online
Anggapan bahwa anak muda tak bisa menciptakan perubahan di dalam masyarakat adalah ungkapan keliru yang berangkat dari cara berpikir yang ‘lawas’. Kelompok muda dengan kelebihan kreativitas dan semangatnya memiliki peluang besar dalam menciptakan perubahan di lingkungannya masing-masing.
 
Hal itu terlihat saat sekitar 17 komunitas yang hampir semuanya dimotori oleh anak muda usia 20-30an tahun berkumpul di acara Share and Reapply yang digelar Indika Foundation. Di antara kesemuanya organisasi yang bergerak di lini masing-masing demi tujuan menjadikan Indonesia tempat yang lebih nyaman bagi semua perbedaan, ada beberapa yang fokus pada dunia pendidikan.
 
Seperti Yayasan Cahaya Guru yang memilih fokus pada meningkatkan kebinekaan, kebangsaan, dan kemanusiaan di dunia pendidikan. Yayasan ini menyasar cita-citanya dengan melakukan intervensi di sekolah melalui peningkatan kapasitas guru dalam berpikir kritis. 
 
"Semangatnya begini, jika kita berhasil meningkatkan kapasitas guru, maka secara otomatis, kita berpartisipasi dalam peningkatan kualitas pendidikan di sekolah," ujar Direktur Yayasan Cahaya Guru Mukhlisin pada NU Online, di Jakarta, Jumat (31/1).
 
Mukhlisin meyakini bahwa di sekolah, seorang guru memiliki peran yang sangat vital pada sistem pendidikan di Inonesia. Saking pentingnya peran guru, dalam tradisi Jawa, seorang guru juga memiliki tanggung jawab sosial untuk menyontohkan akhlaq yang baik pada murid dan lingkungannya. Hal itu menunjukkan besarya peran guru yang tidak hanya pengajar namun jura sebagai role model.
 
Lain Yayasan Cahaya Guru, lain pula gerakan Mari Berbagi Seni yang menyebarkan toleransi pada kelompok muda melalui forum-forum seni seperti melukis. Aktivitas melukis, menurut aktivis Mari Berbagi Seni, Tita Djumamaryo, juga bisa digunakan sebagai media untuk menyebarkan nilai-nilai toleransi. 
 
Perlu pendekatan sistemik dan menyeluruh
Namun apa yang dilakukan Yayasan Cahaya Guru dan Gerakan Berbagi Seni akan berdampak sedikit dalam mengikis intoleransi jika tidak didukung dari sektor lain. Pasalnya, bisa jadi, intoleransi tidak hanya lahir dari lingkungan sekolah saja, namun keluarga atau lingkungan bermain misalnya. Maka dari itu diperlukan upaya menyeluruh untuk mengikis intoleransi.
 
Hal itu sebagaimana diungkapkan, pengamat Pendidikan Nasional, Darmaningtyas yang mengatakan bahwa mengikis intoleran di dalam dunia pendidikan membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan sistimatis kepada semua pihak. 
 
Selain itu, penyebaran virus intoleransi juga sudah terjadi sejak lama pada tahun 80-an melalui formalisasi agama di lingkungan sekolah. Kemudian pasca reformasi mulai banyak sekolah-sekolah yang berkaitan dengan agama bermunculan yang didirikan oleh kelompok agama ataupun partai politik. Hal inilah yang berakibat munculnya bibit-bibit intoleransi secara masif.
 
"Di mana sekolah-sekolah itu pahannya berbeda sekali dengan paham kebangsaan yang seharusnya paham kebangsaan ini harus terus dikembangkan di sekolah-sekolah negeri. Apalagi kemudian ada Rohis (Rohani Islam) yang mentornya bukan guru agama melainkan dari para alumni yang sudah menjadi mahasiswa. Sudah rumit, tidak sesederhana seperti yang dibayangkan oleh banyak orang," tutur Alumni Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta beberapa waktu lalu.
 
Oleh sebab itu, ia menyarankan agar pemerintah agar melakukan monitoring baik terhadap kurikulum pendidikan dan juga cara guru-gurunya dalam menyamapaikan pengajaran kepada muridnya. 
 
"Pemerintah selama ini kan tidak berani tegas, padahal hal seperti ini (intoleransi) tidak boleh sampai masuk ke ranah pendidikan dengan membawa-bawa agama atau politik lainnya. Karena kalau hal itu diperbolehkan maka kita akan susah untuk mencari penyelesaiannya. Karena kalau agama ini dipakai menjadi kendaraan politik individu atau parpol atau kelompok tertentu di dalam dunia pendidikan, maka sikap-sikap intoleran itu akan tumbuh," pungkasnya.
 
Pewarta: Ahmad Rozali
Editor: Kendi Setiawan