Nasional

Cerita di Balik Cerpen Triyanto untuk Gus Mus

Jum, 5 Mei 2017 | 07:01 WIB

Kudus, NU Online
Tidak jarang seorang pengarang merasa takut untuk berkarya dan mendekonstruksi suatu karya. Demikian ternyata juga dialami sastrawan Triyanto Triwikromo dalam berproses. 

Salah satunya ketika menuliskan cerita pendeknya yang ditujukan kepada budayawan KH A. Musthofa Bisri (Gus Mus) dengan judul "Setelah 16.200 Hari". Ia mengaku sempat takut untuk mengirimkannya ke media.

"Waktu itu saya juga takut ada reaksi berlebihan dari para pengikut atau santrinya Gus Mus," tuturnya saat menjadi pembicara kuliah tamu bertema "kreatif menulis cerpen Untuk meningkatkan budaya literasi bagi mahasiswa di Universitas Muria Kudus, Kamis (04/05).

Dalam cerita pendek itu dikisahkan seorang Nyai (istri kiai) yang sedang berbincang dengan sosok sakit atau kebanyakan orang memaknainya dengan malaikat maut. Obrolan keduanya berisi tentang masih banyaknya tugas yang harus dilakukan Nyai kepada suaminya. 

Yaitu mendampingi dengan penuh cinta agar suami itu teguh dan fokus dalam mengurus umat. Akhirnya sang Nyai itu harus berpasrah dan menerima takdir bahwa ia juga harus rela terpisah sementara dengan suaminya itu. 

Namun sebenarnya sang Nyai dengan suaminya itu masih bersama dalam dimensi cahaya yang diridlai Allah. Mereka saling mendoakan dan mengingatkan atas dasar cinta yang sama di alam yang berbeda.

Ketika sudah tayang di Harian Kompas pada Minggu 24 Juli 2016 cerpen itu ternyata benar mendapat reaksi dari Gus Mus dan keluarganya. Gus Mus yang sebelumnya tidak menangis lantaran ikhlas atas kehendak Allah yang mengambil istrinya itu kemudian menangis. Sebab itu juga Triyanto sempat "ditegur" oleh kerabat Mustasyar PBNU tersebut.

"Gus Mus juga berkirim pesan kepada saya. Beliau berterima kasih karena ungkapan yang tersimpan dihati beliau sedikit terwakilkan di cerpen itu," terang Triyanto.

Menurut Triyanto, waktu itu ia hanya ingin mengungkapkan bahwa cinta Gus Mus kepada Bu Fatma (istri Gus Mus)  itu indah. Cinta itu lebih berharga dan pantas diteladani daripada berkoar tentang sesuatu yang berujung pada permusuhan dan perpecahan.

"Saat itu saya hanya ingin menyampaikan supaya masyarakat mencintai cinta dibanding kebencian sesama. Karena suasana kan sedang memanas karena politik identitas," paparnya.

Kini, cerpen itu sedang digodok dan masuk nominasi cerpen pilihan Kompas yang akan datang. Cerpen itu juga sudah dibagikan lebih dari 10.000 orang di jejaring sosial. Rata-rata pembaca menanggapinya dengan tangis haru dan kagum dengan cinta dari keduanya. (M. Farid/Fathoni)