Nasional

Cerita tentang Janda Muda Laris Berdagang, Setelah Tua Tidak Laku

Sen, 11 Maret 2019 | 20:00 WIB

Jombang, NU Online
Dahulu, di Bangil, Jawa Timur ada seorang janda beranak tujuh. Untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya yang masih kecil, setiap hari janda itu berjualan gorengan dan kerupuk.

Sewaktu anak-anaknya masih kecil, dagangannya laris manis. Tetapi ketika mulai besar, dan semakin besar, jualannya semakin tidak laku.

Karena kondisi tersebut, si janda lalu curhat kepada Gus Ali di Tulangan, Sidoarjo. Gus Ali ini adalah kiai yang sebelumnya memberikan wejangan dan doa agar usaha si janda laris. Si janda berkata, "Pak Kiai, masa doanya keliru? Semakin saya baca (doanya) kok semakin tidak laku blas. Ini bagaimana?"

Gus Ali lalu menjawab bahwa malaikat tak pernah salah melaksanakan tugasnya.

"Dulu Allah membuat dagangan sampean laris karena anak-anak sampean masih kecil. Nah, sekarang anak-anak sampean sudah besar-besar dan bisa bekerja sendiri. Sudah bukan waktunya lagi jualan gorengan dan kerupuk. Tapi waktunya perbanyak waktu di masjid," Gus Ali menimpali.

Cerita itu disampaikan sendiri oleh KH Ali Masyhuri, nama lengkap Gus Ali di puncak Haul Mbah Bisri Syansuri, Denanyar, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, pekan lalu.

Pengasuh Pondok Pesantren Bumi Sholawat, Sidoarjo, Jawa Timur itu lalu menasihati si janda dan kembali dinasihatkan kepada jamaah agar mengaji tentang tauhid.

Allah Swt, kata Gus Ali, kalau memberikan sesuatu pasti melihat apa yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan. "Kalau tidak sadar dengan prinsip ini maka tidak merasa diatur Allah, tapi merasa (bisa) ngatur Allah," ungkapnya. 

Menurutnya, para orang tua dahulu meskipun tidak sekolah dan banyak anak, tidak pernah khawatir tentang datangnya rezeki dari Allah. Ketenangan pun didapatkan karena mereka percaya Allah memberikan rezeki sesuai kebutuhan hamba-Nya.

Keadaan sekarang sebaliknya. Kebanyakan orang malah takut punya anak banyak, khawatir tidak bisa membesarkan dan membiayai anak-anak. Padahal orang-orang sekarang berpendidikan tinggi.

"Ada yang gelarnya MM alias mumet melulu. SPd; sarjana penuh derita. MSi masih seperti itu alias uripe nguna-ngunu ae (begitu-begitu saja). Akhire duwene (akhirnya punya) RSS, rumah sulit selonjor," selorohnya.

Haul Mbah Bisri Syansuri turut dihadiri sejumlah tokoh termasuk Rais ‘Aam PBNU KH Miftachul Akhyar, Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj, Wakil Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz, serta ribuan santri dan jamaah.

Tahun ini, haul Mbah Bisri Syansuri memasuki tahun ke-40. Acara dibarengkan dengan haul ke-66 Nyai Hj Nor Khodijah, 104 tahun Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif, serta seabad Pondok Pesantren Putri Mambaul Ma’arif.

Mbah Bisri atau KH Bisri Syansuri lahir pada hari Rabu tanggal 28 Dzulhijjah tahun 1304 H atau 18 September 1886. Dia lahir di Tayu, sebuah ibu kota kecamatan yang letaknya 100 kilometer ke arah timur laut Semarang, di Jawa Tengah. 

Tayu merupakan pesisir pantai utara Jawa yang memiliki budaya sosial keagamaan yang taat. Sebagai salah satu titik dalam jalur daerah yang penduduknya teguh memegang tradisi keagamaan mereka, yang membentang dari Demak hingga Gresik, Tayu merupakan latar belakang geografis yang sangat mewarnai pandangan hidup Bisri di kemudian hari.

Bisri lahir dari pasangan Abd Shomad dan Mariah. Bisri anak ketiga dari lima bersaudara. Kelima saudara Bisri terdiri atas tiga saudara laki-laki dan dua saudari perempuan. Bisri pada akhirnya ditakdirkan menjadi bagian dari proses sejarah pada pengembangan ajaran agama Islam di pedalaman Jawa Timur. 

Selain dikenal sebagai pendiri Pesantren Denanyar, KH Bisri Syansuri juga salah satu tokoh di balik kelahiran dan keaktifan NU. KH Bisri Syansuri juga terlibat dalam perjuangan merebut dan mengisi kemerdekaan Indonesia. (Syamsul Arifin/Kendi Setiawan)