Nasional

Dasar Semua Pemikiran Gus Dur adalah Islam sebagai Rahmat

Ahad, 2 April 2017 | 04:01 WIB

Dasar Semua Pemikiran Gus Dur adalah Islam sebagai Rahmat

Hj Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid.

Jakarta, NU Online
Semua dasar pemikiran Gus Dur berpijak pada ajaran agama Islam yang diyakininya yakni rahmatan lil alamin. Hal tersebut disampaikan istri mendiang KH Abdurrahman Wahid, Hj Shinta Nuriyah, saat membuka Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) yang diselenggarakan Komunitas Gusdurian Jakarta pada Sabtu (1/4) pagi di Yayasan Puan Amal Hayati, Ciganjur, Jakarta Selatan.

“Semua ilmu yang didapatkan Gus Dur adalah untuk rahmatan lil alamin. Itu sebabnya Gus Dur menjunjung tinggi kemanusiaan. Kemanusiaan tersebut ketika dicocokkan dengan kondisi masyarakat yang pluralis, maka Gus Dur pun menerapkan pluralisme,” urai Bu Sinta, sapaan akrabnya.

Menurut Shinta, sosok Gus Dur dikenalnya ketika Gus Dur telah memasuki usia dewasa, di mana Gus Dur telah menjajagi kehidupan yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Pemikiran dan gagasan yang ditinggalkan Gus Dur selama hidupnya sangat cemerlang. Dan yang terpenting Gus Dur juga mengamalkan pemikiran tersebut. 

“Banyak orang yang punya ilmu yang baik sekali tapi apa yang dilakukan berbeda (dengan ilmu yang dikuasainya). Kepintaran dipakai untuk ujaran kebencian, mencaci maki orang lain, mengkafirkan orang lain dan perilaku-perilaku tidak pada tempatnya,” katanya di hadapan peserta yang berasal dari sejumlah kampus di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi.

Kebudayaan di Indonesia kebanyakan diwarnai sikap atau landasan bahwa perempuan hanyalah konco wingking. Tetapi Gus Dur mendobrak hal itu, dan justru menjunjung kesetaraan perempuan.

“Gus Dur menegaskan jangan meremehkan perempuan. Peran perempuan sangat vital, sebagai tokoh sentral dalam kehidupan manusia, dan madrasah pertama bagi manusia,” tutur Shinta.

Dalam hal berdemokrasi, menurut Bu Sinta, Indonesia masih belajar. “Negara kita masih muda, masih mencoba melalui suatu gagasan demokrasi. Jadi sedang belajar demokrasi. Wajar saja kalau kadang-kadang kebablasan, kadang-kadang ketinggalan,” ujarnya.

Ia pun mengingatkan para peserta agar menerapkan demokrasi berdasarkan pemikiran yang digali dari gagasan Gus Dur. Menurutnya penyelenggaraan Kelas Pemikiran Gus Dur sangat tepat karena Indonesia tengah berada dalam keadaan tidak kondusif. 

“Keadaan saat ini banyak ujaran kebencian, upaya pecah belah, dan penistaan. Kelas atau pelatihan ini sangat tepat dilakukan,” katanya.

Kelas Pemikiran Gus Dur Jaringan Gusdurian Jakarta, berlangsung Sabtu-Ahad, 1-2 April 2017. Kelas diisi sejumlah pembicara yakni Priyo Sambadha Wirowijoyo, Abdul Moqsith Gozali, Ahmad Maftuchan, Zastrow Al-Ngatawi, Savic Ali, Jay Ahmad.

Ketua Panitia KPG 2, Agustina Iskandar menuturkan kelas tersebut merupakan upaya memperkenalkan sosok, gagasan, dan perjuangan Gus Dur di bidang agama, politik, sosial, seni dan budaya secara lebih sistematis dan mudah dipahami. Forum juga dimaksudkan untuk meningkatkan wawasan tentang nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Dur sekaligus menghubungkan dengan berbagai isu dan bidang tersebut.

Dalam KPG, para peserta mendapatkan materi pemikiran Gus Dur dan mendiskusinya pada sesi dialog interaktif dengan para pemateri; peserta dibagi ke dalam kelompok dan mendapatkan tugas-tugas yang dapat memperkuat tim dan membangun kerja sama tim yang baik. 

Peserta juga menampilkan pertunjukan seni. Kegiatan ini melatih mereka untuk belajar secara tim dan juga belajar kebudayaan. Di akhir sesi peserta diberi kesempatan untuk menyusun rencana tindak lanjut yang dapat dilakukan secara berkelanjutan. (Kendi Setiawan/Fathoni)