Nasional

Dewan Pers: UU PDP Ancam Kebebasan Pers dan Berpotensi Jadi Alat Represi Baru

NU Online  ·  Kamis, 26 Juni 2025 | 19:30 WIB

Dewan Pers: UU PDP Ancam Kebebasan Pers dan Berpotensi Jadi Alat Represi Baru

Gambar ini hanya sebagai ilustrasi kebebasan pers. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers Abdul Manan menyampaikan kekhawatiran serius terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).


Manan menilai UU PDP ini berpotensi menjadi ancaman baru terhadap kebebasan pers di Indonesia. Ia juga menurut bahwa regulasi ini dapat digunakan sebagai alat represi baru terhadap jurnalis dalam menjalankan tugasnya.


“Pertanyaannya bukan lagi apakah UU PDP berdampak terhadap pers, tapi seberapa besar dampaknya?" ujar Abdul Manan dalam diskusi publik bertajuk Pentingnya Pengecualian Jurnalistik dalam UU PDP yang diselenggarakan AJI Indonesia secara daring pada Kamis (26/6/2025).


Ia menekankan bahwa kekhawatiran itu bukan sekadar hipotesis, melainkan sudah mulai terbukti di lapangan.


Menurutnya, ketentuan dalam UU PDP bisa menjadi celah bagi narasumber atau lembaga publik untuk menolak memberikan informasi dengan dalih perlindungan data pribadi.


“Kita ini sudah lama hidup dalam sistem birokrasi tertutup, dan sekarang mereka punya alasan hukum untuk menghindari transparansi,” tambahnya.


Lebih lanjut, Manan menyoroti beberapa jenis data yang kerap digunakan dalam laporan jurnalistik, seperti catatan kejahatan, data anak, dan informasi pribadi tokoh publik.


Semua itu kini masuk dalam kategori yang dilindungi UU PDP, sehingga jurnalis bisa berisiko dijerat pidana hanya karena memuat informasi yang sebelumnya dianggap wajar diberitakan.


“Bisa saja media diseret ke ranah hukum hanya karena menyebut jumlah anak narasumber atau alamat rumah tokoh publik. Padahal, itu data yang dalam konteks tertentu relevan untuk kepentingan publik,” ujarnya.


Ancaman paling nyata menurutnya terletak pada potensi kriminalisasi terhadap jurnalis seperti pemanggilan untuk pemeriksaan oleh polisi.


“Tak perlu menunggu sampai dihukum, cukup dipanggil polisi saja, itu sudah bentuk intimidasi,” tegasnya.


Ia mengingatkan bahwa hal semacam ini bisa menjadi pola baru untuk membungkam media kritis.


Senada, Peneliti dari ELSAM Parasurama Pamungkas menunjukkan kekhawatiran terhadap hal tersebut. Ia menyebutkan bahwa data pribadi bukan sekadar elemen pendukung, melainkan salah satu komponen utama dalam kerja-kerja jurnalistik.


"Nama, usia, lokasi, bahkan foto  semuanya bagian tak terpisahkan dari konstruksi berita," jelasnya.


Ia juga mengingatkan bahwa jurnalistik adalah sektor yang sejak awal turut memicu diskursus tentang privasi.


“Sejak zaman Warren dan Brandeis menulis buku Right to Privacy, media sudah berada di jantung perdebatan antara hak atas informasi dan hak atas privasi,” ujar Parasurama.


Karena itu, menurutnya, UU PDP seharusnya memberikan ruang pengecualian yang jelas dan eksplisit terhadap kerja-kerja jurnalistik. Tanpa itu, regulasi ini bukan hanya berpotensi mengekang kebebasan pers, tapi juga membahayakan hak publik untuk tahu.


"Kita sedang berada di persimpangan penting: apakah hukum akan melindungi transparansi dan demokrasi, atau justru menjadi alat untuk membungkamnya," pungkas Manan.