Nasional

Dialogue Center UIN Sunan Kalijaga Adakan Semiloka Cegah Kekerasan Seksual di Lembaga Keagamaan

Sel, 6 Juni 2023 | 11:00 WIB

Dialogue Center UIN Sunan Kalijaga Adakan Semiloka Cegah Kekerasan Seksual di Lembaga Keagamaan

Dialogue Center Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta mengadakan seminar dan lokakarya (Semiloka) Upaya Pencegahan Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Lembaga Keagamaan yang digelar di University Hotel pada Ahad-Senin, (4-5/6/2023). (Dok. Panitia)

Yogyakarta, NU Online
Dialogue Center Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta mengadakan seminar dan lokakarya (Semiloka) Upaya Pencegahan Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Lembaga Keagamaan yang digelar di University Hotel pada Ahad-Senin, 4-5 Juni 2023. Semiloka ini diikuti puluhan tokoh lintas iman.

 

Dialogue Center UIN Sunan Kalijaga sejak 2004 tidak hanya menangani isu-isu keagamaan yang dikomunikasikan oleh tokoh-tokoh agama lintas iman, tetapi juga membahas upaya pencegahan pelecehan dan kekerasan seksual di lembaga keagamaan.

 

Zaenudin Dosen UIN Sunan Kalijaga sekaligus Direktur Dialogue Center menyampaikan banyak sekali kasus korban atau pelaku di lingkup lembaga keagamaan. “Oleh karenanya amat penting semiloka ini diadakan dengan menghadirkan penyuluh, guru, perwakilan lembaga keagamaan,” ujarnya melalui rilis yang diterima NU Online, Senin (5/6/2023).

 

Dia mengatakan, hasil rekomendasi semiloka diharapkan bisa ditindaklanjuti dan disosialisasikan ke seluruh stakeholders lembaga dan masyarakat, kaitan pentingnya profesionalisasi lembaga keagamaan yang standar ukurnya memiliki SOP pencegahan kekerasan seksual.

 

Kedua narasumber semiloka yakni Mochammad Sinung Restendy dan Pendeta Kristi menekankan pentingnya aturan, SOP, juklak, dan juknis penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di lembaga keagamaan harus tertulis dan diimplementasikan. Dengan begitu akan menutup ruang-ruang gelap yang berpotensi menjadi kekerasan seksual.

 

"Kurikulum, proses belajar, sarpras, mekanisme pengaduan, sanksi, pendampingan, rujukan, evaluasi monitoring jadi item-item penting dari proses penyusunan SOP yang harus matang didiskusikan oleh semua tokoh lintas keagamaan,” kata Sinung.

 

Dia mendorong pencegahan kekerasan seksual dapat dilakukan komprehensif oleh semua bidang keagamaan tanpa terkecuali.

 

Sementara itu Pendeta Kristi mengatakan beberapa jenis kekerasan seksual yang mungkin terjadi di lembaga keagamaan yang biasa disingkat SEAH atau Sexual Expoitation, Abuse, Harassent, yaitu:

 

1. Sexual Exploitation (esploitasi seksual)
Eskploitasi seksual biasanya berupa penyalahgunaan posisi rentan seseorang yang bergantung padanya atau kekuatan dan kepercayaan yang berbeda untuk mendapatkan keuntungan seksual, tapi tidak terbatas pada menawarkan uang atau keuntungan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini termasuk perdagangan manusia dan pelacuran.

 

2. Sexual Abuse (pelecehan seksual) 
Pelecehan seksual berbentuk gangguan fisik yang nyata atau mengancam yang bersifat seksual, baik dengan kekerasan atau dalam kondisi yang tidak seimbang atau koersif. Ini termasuk perbudakan seksual, pornografi, pelecehan anak dan kekerasan seksual.

 

3. Sexual Harassment (Pelecehan Seksual)
Pelecehan seksual yakni perilaku seksual yang tidak diinginkan yang mungkin diharapkan atau dianggap menyebabkan pelanggaran atau penghinaan. Bisa pula dijadikan syarat kerja atau menciptakan lingkungan kerja yang mengintimidasi, bermusuhan, atau ofensif. Dapat terjadi dalam berbagai bentuk, dari penampilan dan kata-kata hingga kontak fisik yang bersifat seksual.

 

Contoh pelecehan seksual
Pendeta Kristi yang juga Koordinator Srikandi Lintas Iman, Yogyakarta itu membeberkan contoh pelecehan seksual, di antaranya:

 
  1. Percobaan atau penyerangan seksual yang sebenarnya, termasuk pemerkosaan,
  2. Berbagi atau menampilkan gambar atau video yang tidak pantas secara seksual dalam format apa pun,
  3. Mengirimkan komunikasi yang menjurus ke arah seksual dalam format apa pun,
  4. Berbagi anekdot atau lelucon seksual atau cabul,
  5. Melakukan gerakan seksual yang tidak pantas, seperti dorongan panggul; sentuhan yang tidak diinginkan, termasuk mencubit, menepuk, menggosok,
  6. Menatap dengan cara yang menjurus ke arah seksual,
  7. Berulang kali mengajak seseorang berkencan atau mengajak berhubungan seks,
  8. Menilai seksualitas seseorang,
  9. Membuat komentar seksual tentang penampilan, pakaian, atau bagian tubuh,
  10. Menyebut nama atau menggunakan cercaan dengan konotasi gender/seksual,
  11. Membuat komentar yang menghina atau merendahkan tentang orientasi seksual atau identitas gender seseorang.
 

Pendeta Kristi juga menyebutkan perlunya kesadaran sebuah lembaga keagamaan untuk melakukan pencegahan SEAH yang tergantung pada kesadaran pemimpin, ada atau tidaknya kasus; dan ada atau tidaknya lembaga luar (mitra) yang mendorong pencegahan SEAH.

 

Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Aiz Luthfi