Nasional

Dua Hal Mengapa Kombatan ISIS Harus Ditolak

Jum, 14 Februari 2020 | 07:15 WIB

Dua Hal Mengapa Kombatan ISIS Harus Ditolak

Sekjen PBNU HA. Helmy Faishal Zaini. (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online
Pemerintah Republik Indonesia dengan tegas menolak pemulangan eks-WNI kombatan ISIS. Masyarakat perlu memahami mengapa anggota ISIS perlu ditolak.

Dalam hal ini, Sekjen PBNU HA. Helmy Faishal Zaini di rubrik opini Harian Kompas edisi Jumat, 14 Februari 2020 berjudul Menolak Kombatan NIIS menjelaskan, berbicara konteks wacana pemulangan kombatan ISIS, setidaknya ada dua hal yang bisa dijadikan pendekatan untuk melihat persoalan ini.

Pertama, pendekatan legal formal dengan piranti Undang-Undang. Jika merujuk pada UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, pada Pasal 23 disebutkan secara eksplisit bahwa, “Warga Negara Indonesia (WNI) kehilangan kewarganegaraan jika masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden.”

“Konteks Pasal 23 UU Nomor 12 Tahun 2006 ini dalam hemat saya selaras dengan yang sedang kita hadapi bersama hari ini. Jelas bahwa status kewarganegaraan para kombatan tersebut sudah hilang sejak mereka berbaiat ke ISIS,” jelas Helmy.

Kedua, pendekatan kerangka berpikir berdasarkan keilmuan pesantren. Pendekatan terdiri dari rangkaian dan susunan argumen yang bisa dijadikan dasar berpikir untuk mengambil keputusan terbaik.

Berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 60, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.”

Titik tekan ayat tersebut menurut Helmy, ada pada pengertian dan perintah kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengusir mereka yang membuat fitnah, keonaran, dan juga termasuk teror dari Kota Madinah.

“Dalam Islam melalui ayat ini, kita dapat mengatakan bahwa tidak ada tempat bagi mereka yang berbuat teror dan mengusik tatanan kehidupan,” terangnya.

Ia menguraikan, kaum pesantren juga mengenal kaidah fiqih, dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (menolak kerusakan lebih didahulukan dan diutamakan dibandingkan mendatangkan kemaslahatan).

Sikap preventif (mencegah) dan kehati-hatian adalah kunci dalam bertindak. Maka, menurutnya, dalam konteks wacana pemulangan kombatan ISIS ini, yang lebih kita dahulukan adalah mencegah datangnya kerusakan atau kemudharatan berupa ancaman dan potensi teror dibandingkan mendatangkan kemaslahatan dengan pertimbangan kemanusiaan.

“Dengan kerangka berpikir jelas dan juga pendekatan komprehensif, saya rasa kita akan lebih jernih dalam melihat persoalan. Kejernihan melihat persoalan akan menjadi modal penting untuk mendasari pengambilan kebijakan,” tandas Helmy.

Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi