Nasional DOKTOR KEHORMATAN

Dua Jalan Perjuangan Nyai Sinta Nuriyah untuk Perempuan

Rab, 18 Desember 2019 | 05:15 WIB

Dua Jalan Perjuangan Nyai Sinta Nuriyah untuk Perempuan

Nyai Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid usai menerima anugerah doktor kehormatan dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (18/12). (Foto: Dok. istimewa)

Jakarta, NU Online
Nyai Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid menerima anugerah doktor kehormatan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Rabu (18/12). Perjuangannya untuk kaum Hawa dinilai menjadi salah satu faktor istri Gus Dur itu berhak atas penghargaan tersebut.

Ketua Promotor Ema Marhumah dalam pidatonya menjelaskan, perjuangan Nyai Sinta untuk hak-hak perempuan ditempuh setidaknya melalui dua jalur. Pertama, ia berjuang dalam menguatkan wacana gender dan Islam.

Bahkan, sosoknya juga membongkar wacana yang selama ini telah dianggap mapan. Bagi istri Gus Dur itu, Islam jelas sangat menghormati perempuan, memegang teguh prinsip kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki, dan membela perempuan korban kekerasan. 

Pemikiran demikian didiskusikan dengan basis literatur yang biasa dikaji di pesantren bersama KH Husein Muhammad, KH Nasaruddin Umar, dan beberapa kolega lainnya dalam Forum Kajian Kitab Kuning (FK3).

“Promovenda mengadakan halaqah rutin yang dinamai Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), sebagai forum kajian untuk melakukan kontekstualisasi terhadap kitab turats tentang relasi perempuan dan laki-laki, semisal kitab Uqud al-Lujain fi Huquq al-Zawjayn, yang populer di kalangan pesantren,” jelas Ema.

Baca juga: Nyai Sinta Nuriyah Terima Anugerah Doktor Kehormatan UIN Yogyakarta

Tidak berhenti pada kajian dan berwacana saja, Nyai Sinta juga menuangkan gagasannya tersebut di berbagai forum dan kesempatan, serta dalam bentuk tulisan, baik di media massa maupun melalui buku.

“Kepedulian dan perjuangan beliau terhadap persoalan ini dapat dilihat dari gagasan atau pikiran progresif promovenda, yang dituangkan dalam bentuk tulisan baik di media massa ataupun buku, juga yang disampaikan promoveda dalam berbagai forum dan kesempatan,” katanya.

Ema Marhumah menjelaskan bahwa bagi seorang Nyai Sinta, pemahaman yang tidak tepat terhadap teks-teks agama dapat berdampak pada kekerasan terhadap perempuan. Hal itu terbukti dengan berbagai fakta yang menunjukkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dijustifikasi oleh interpretasi yang tidak adil, tidak ramah perempuan yang berujung pada subordinasi terhadap kaum Hawa. 

Kekerasan juga, lanjut dia, disebabkan karena ketidaktahuan perempuan terhadap masalah yang mereka hadapi, terutama menyangkut bagaimana relasi gender itu, dan hak-hak dan kewajiban mereka. “Hal-hal tersebutlah yang mendorong promovenda untuk melakukan advokasi terhadap terhadap perempuan,” jelasnya.

Aktivitas sosial
Perjuangan untuk perempuan yang dilakukan oleh Nyai Sinta tidak saja dilakukan dalam tataran diskursif belaka. Akan tetapi, juga melalui aktivitas sosialnya dalam lembaga yang ia dirikan, yakni Yayasan Puan Amal Hayati, suatu yayasan berbasis pesantren untuk pemberdayaan perempuan, khususnya perempuan korban kekerasan.

“Sebagai orang pesantren, promovenda memandang bahwa pesantren sangat bisa berkontribusi terhadap pemberdayaan perempuan. Metode pesantren sebagai ‘sub-kultur’, meminjam bahasa Gus Dur, menjadi inspirasi bagi promovenda untuk memberdayakan perempuan melalui Yayasan Puan Amal Hayati yang fokus mengadakan training dan konseling,” jelasnya.

Saat ini, lanjut Ema, yayasan ini memiliki tujuh pesantren, di Tasikmalaya, Indramayu, Semarang, Lombok, Sumenep, Jember, dan Jepara. Selain itu, promovenda juga mendirikan Women Crisis Center, sebuah lembaga yang juga mengadvokasi hak-hak perempuan.

“Kesemua aktivisme dan perjuangan tersebut merupakan kontribusi nyata promovenda dalam pemberdayaan perempuan, keadilan gender; memberdayakan perempuan agar menjadi subjek yang berani untuk menyuarakan pikiran dan pengalamannya, demi terciptanya keadilan dan kesetaraan,” jelas guru besar di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Sunan Kalijaga itu.

Menariknya, promovenda melakukan strategi aktivisme yang dapat diterima oleh kalangan akar rumput. Penggunaan konsep “perempuan sebagai mitra laki-laki”, misalnya, dan inisiasi terhadap lahirnya lembaga PUSPITA (Pusat Perlindungan bagi Wanita), suatu bentuk penyesuaian dari lembaga Women Crisis Center. “Hal-hal semacam ini penting untuk direfleksikan, khususnya bagi para aktifis hak-hak perempuan,” pungkas Ema.

Nyai Sinta berhak mendapat predikat sangat memuaskan atau summa cumlaude setelah melewati tahap ujian tertutup di Jakarta pada 30 November 2019 lalu.
 
Pewarta: Syakir NF
Editor: Musthofa Asrori