Nasional

Dulu, Tasawuf Menjadi Kekuatan untuk Melawan Penjajahan

Sab, 20 April 2019 | 19:00 WIB

Tangerang Selatan, NU Online
Ketua Mahasiswa Ahlith Thoriqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyyah (MATAN) DKI Jakarta KH Ali M Abdillah mengatakan, dulu para kolonial Belanda heran dengan perilaku orang pribumi Nusantara yang sulit ditaklukkan padahal mereka tidak memiliki senjata yang canggih. 

"Senjata tidak punya, meriam pun juga tak punya, tapi sulit untuk ditaklukkan," kata Kiai Ali dalam diskusi Islam Nusantara Center (INC), Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu (20/4).  

Kiai Ali menceritakan, pihak kolonial Belanda terus menyelidiki apa faktor yang mendasari masyarakat pribumi susah ditaklukkan. Setelah ditelusuri ternyata salah satu yang menjadi kekuatan bagi mereka adalah tasawuf. 

Pihak kolonial Belanda, lanjut Kiai Ali, kemudian menugaskan Snouck Hurgronje untuk melakukan pengkajian tentang Islam yang merupakan agama mayoritas di Nusantara. Tidak tanggung-tanggung, seorang orientalis Snouck dikirim ke Makkah untuk belajar bahasa Arab. Sekembalinya dari sana, Snouck itu lalu mengkaji tasawuf Nusantara. Di situlah, orientalis dengan nama Islam H Abdul Ghofar itu menemukan jawaban bahwa orang-orang yang belajar tarekat dan syariat yang ditakuti hanyalah Allah.

“Oleh karenanya kekuatan Belanda sehebat apapun tak akan pernah membuat para penganut tarekat jera," ungkap Pengasuh Pesantren al-Rabbani Islamic College itu.

Setelah mengetahui hal itu, imbuh Kiai Ali, pihak kolonial Belanda kemudian mengatur strategi dengan mendekati ulama Betawi bernama Sayyid Utsman. Dari pendektannya itu, pihak kolonial Belanda  menghasilkan suatu kebijakan bahwa ajaran hakikat (tasawuf dan tarekat) itu haram. 

Kebijakan ini juga berdampak terhadap pengajaran tasawuf di pesantren-pesantren dimana kitab tertinggi yang diajarkan adalah Ihya Ulumiddin dan Hikam.  Sementara kitab dan ajaran Ibnu Arabi tidak lagi diajarkan.“Inilah yang membuat ajaran hakikat pada abad ke -19 mulai tenggelam,” katanya.

Perkembangan Tasawuf di Nusantara

Sekretaris Awwal Jam'iyyah Ahlit Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah (Jatman) ini menjelaskan, jejak-jejak tasawuf di Nusantara sudah mulai ada sejak abad ke-14. Hal itu dapat ditelusuri dari beberapa penelitian di Leiden Belanda mengenai manuskrip yang ditulis oleh salah satu murid Sunan Bonang mengenai tasawuf. Memang, yang paling banyak ditemukan pada masa kini berupa peninggalan-peninggalan seperti wayang dan beberapa alat budaya yang digunakan untuk menyampaikan ajaran tasawuf. 

Menurut Kiai Ali, pada abad ke-16 dan ke-17 para ulama sufi mulai aktif menyebar ke seluruh penjuru Nusantara untuk mengajarkan tasawuf dan tarekat kepada masyarakat. Diantaranya adalah Hamzah Fansuri, seorang tokoh ulama tasawuf falsafi yang menerjemahkan ajaran-ajaran tasawuf ke dalam bentuk prosa dan menggunakan simbol-simbol lokal dalam menyampaikannya, 

Kiai Ali menyadari, setiap ajaran tentu tak lepas dari kesalahpahaman pengkajinya. Penyimpangan di level pengikut pun tak dapat dihindari. Seperti pengkafiran yang dilakukan oleh Nuruddin ar-Raniri bagi pengikut Hamzah Fansuri. Kemudian Abdurrauf as-Sinkili mengintegrasikan tasawuf falsafi dengan tasawuf amali  menjadi satu kesatuan. Ajarannya itu kemudian diturunkan kepada murid-muridnya. 

“Hingga abad ke-18, tasawuf integratif tersebut tersebar ke berbagai penjuru Nusantara. Bahkan sampai ke Mindanao Fillipina," terangnya. (Nuri Farihatin/Muchlishon)