Nasional

Elite Berebut Kuasa setelah Pemilu, Harga Beras Melambung, Rakyat Dapat Apa?

Ahad, 25 Februari 2024 | 13:00 WIB

Elite Berebut Kuasa setelah Pemilu, Harga Beras Melambung, Rakyat Dapat Apa?

Ilustrasi: Kenaikan harga beras menimbulkan kekhawatiran masyarakat (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Kenaikan drastis harga beras telah memicu kekhawatiran yang meluas di kalangan masyarakat. Dalam menghadapi situasi ini, para pakar mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah yang efektif.

 

Dosen Teknologi Agroindustri dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Ririn Fatma Nanda, menyoroti eskalasi masalah ini sebagai isu krusial yang memerlukan perhatian segera dari pemerintah. 

 

"Jangan sampai karena kita masih sedang sibuk pemilu, pemerintah menjadi lalai atau lambat dalam menangani hal ini karena berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia," ujar Ririn kepada NU Online, Jumat (23/2/2024).

 

Ririn mencontohkan keputusan India untuk menghentikan ekspor beras sebagai respons terhadap perubahan cuaca yang tidak menentu menjadi contoh yang patut diperhatikan. Implikasinya, hal ini dapat mempengaruhi pasokan dan kelangkaan beras di dunia.


Hal ini berdampak bagi Indonesia, karena mengalami penurunan impor di tengah devisit beras. Konsumsi beras harus dipenuhi 30 juta ton pertahun sementara Indonesia hanya bisa memenuhi 28 juta ton pertahun, dan Badan Urusan Logistik (Bulog) hanya menguasai kurang lebih 1 juta ton.


"Bulog hanya berperan sebagai devensive  kalau ada kebutuhan mendesak mereka akan melakukan operasi pasar, dan itu juga tidak terlalu banyak," jelasnya.

 

Ririn menyoroti pentingnya ekspansi lumbung padi di wilayah tertentu seperti Kalimantan dan Papua untuk jangka panjang guna mengantisipasi krisis serupa di masa depan.

 

"Vietnam, Kamboja, mereka berhasil dalam hal itu karena lumbung padi bukan hal yang buruk sehingga jika ada krisis seperti ini kita ada cadangan," ungkapnya.

 

Ririn menyampaikan kekhawatirannya terhadap kemungkinan trauma pemerintah terhadap istilah impor, terutama dalam konteks pemilu.

 

"Apalagi dalam suasana pemilu saat ini, seolah olah impor ini buruk padahal itu untuk kebutuhan jangka pendek," imbuhnya.

 

Terkait perubahan iklim atau cuaca seperti El Nino, Ririn mengatakan sebetulnya tanpa kejadian ini Indonesia sudah mengalami devisit produksi padi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 mengalami penurunan 2.45 persen, tahun 2023 turun lagi 2.05 persen.

 

Hal ini menyebabkan penurunan produksi gabah dan ketidaksesuaian antara permintaan dan ketersediaan beras, yang dikenal sebagai faktor supply-demand. "Jumlah penduduk semakin meningkat, akan tetapi produksi beras menurun," keluhnya.

 

Selain faktor eksternal seperti perubahan iklim, terdapat pula masalah struktural dalam kebijakan pangan di Indonesia yang perlu segera ditangani. Ia menekankan perlunya kedaulatan pangan dan ketahanan pangan sebagai prioritas jangka panjang.

 

"Ini PR-nya sangat banyak seperti bagaimana proses produksi, kesedian pupuk, lahan, sekarang ditambah lagi cuaca atau kekeringan yang menyebabkan penurunan produksi," bebernya.

 

Centre for Strategic and International Studies (CSIS) juga menekankan kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan perkembangan kenaikan harga beras dan mengambil langkah-langkah yang cepat dan terukur.


Menurut peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Adinova Fauri kelangkaan beras disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, cuaca buruk telah menunda musim tanam sementara pemerintah salah memprediksi waktu panen. 

 

Kedua, meskipun ada stok beras namun stok tersebut sangat terbatas, yang membuat harga naik. Namun, karena ada kebijakan Harga Eceran Tertinggi membuat perusahaan tidak bisa menjual di tingkat HET.

 

"Akibatnya, tidak ada persediaan di pasar modern, hanya ada di pasar-pasar tradisional yang memang menjual dengan harga pasar," terangnya.

 

Faktor lain adalah keterlambatan respon pemerintah dalam mengimpor beras karena gagal memprediksi waktu panen dan harga di pasar internasional yang sudah tinggi.

 

"Akibatnya, harga di pasar internasional sudah tinggi ketika pemerintah ingin melakukan impor untuk meredam harga beras dipasaran," tukasnya.

 

CSIS menyarankan beberapa langkah yang harus diambil pemerintah. Pertama, relaksasi Harga Ecerean Tertinggi (HET) untuk meningkatkan ketersediaan beras di pasar. Kedua, evaluasi ulang pendataan produksi dan stok beras untuk menentukan langkah kebijakan selanjutnya. 


"Jika diprediksi belum ada panen raya hingga Maret/April, maka kebijakan pemberian bantuan pangan perlu dievaluasi kembali terutama karena stok semakin sedikit," ujarnya.

 

Selain itu, perluasan mitra dagang juga diperlukan untuk memudahkan impor beras sebelum terlambat dan mengurangi kelangkaan di pasar.