Nasional

Empat Cara Promosikan Moderatisme Beragama di Sekolah

NU Online  ·  Selasa, 15 Januari 2019 | 02:00 WIB

Jakarta, NU Online
Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2017 menemukan lebih dari 50 persen siswa memiliki opini radikal dan intoleran. Melihat hal tersebut, Muhammad Zuhdi dalam penelitiannya di PPIM menemukan empat cara mempromosikan moderatisme beragama di lingkungan sekolah.

Wakil Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengungkapkan bahwa promosi moderatisme perlu dilakukan melalui kurikulum.

"Tanggung jawab pemerintah dalam menerapkan kurikulum moderat, kurikulum yang mainstream, dan menghargai perbedaan keyakinan. Itu penting di-highlight di versi kurikulum pemerintah. Dan itu harus sampai ke guru," kata Zuhdi saat ditemui NU Online usai menyampaikan hasil penelitiannya pada seminar internasional di Hotel JW Marriott, Kuningan, Jakarta, Senin (14/1).

Selain kurikulum pemerintah, promosi ajaran moderat juga dilakukan melalui kurikulum yang diatur oleh sekolah. Jika pun pemerintah tidak dapat mengakses untuk dapat memberi batasan tertentu, kurikulum yang dicanangkan sekolah harus dipastikan mengajarkan nilai-nilai agama yang tidak diselewengkan untuk kepentingan politik. Artinya, pendidikan Islam yang komprehensif meliputi fiqih, akhlak, akidah, sejarah, dan sebagainya.

"Bukan soal fiqih dan politik saja. Itu yang sering terselewengkan," katanya.

Alumnus Pondok Pesantren Al-Masthuriyah, Sukabumi, Jawa Barat itu juga menjelaskan bahwa nilai keagamaan juga didapat oleh siswa melalui kultur agama di sekolahnya. "Ada kultum ketika sholat dhuhur, ada ngaji bersama. Religious culture itu membentuk nilai-nilai agama yang tidak hanya bersifat formalitas, tetapi yang sifatnya sosial dan universal" ucap Zuhdi.

Di samping itu, kepedulian di sekolah terhadap teman yang meskipun berbeda keyakinan, peduli terhadap guru dan lingkungan dan seterusnya juga perlu dikembangkan sebagai budaya sekolah. Hal itu, menurutnya, dapat membuat siswa memiliki nilai-nilai agama yang komprehensif dan sadar akan adanya perbedaan-perbedaan itu.

Ketiga, lanjutnya, pencegahan terhadap ekstremisme dan promosi moderatisme bisa dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler, terlebih banyak sekali ekstrakurikuler agama. Di sekolah umum, ada Rohaniawan Islam (Rohis).

"Kita dikatakan ngeblame (menyalahkan). Kita sebenarnya tidak ngeblame, yang kita salahkan adalah ketika Rohis itu disusupi pihak luar," kata Zuhdi.

Pria yang menamatkan studi doktoralnya di Universitas Mc Gill Kanada itu melihat banyak sekolah yang lepas tangan terhadap Rohis sehingga mentornya berasal dari luar sekolah. Akibatnya, sekolah kerap kali kaget mendengar sikap siswanya yang tidak sejalan dengan misi sekolah. Pasalnya, pihaknya merasa tidak mengajarkan hal demikian.

"Bukan Rohisnya yang salah, bukan siswanya yang salah, tapi ada infiltrasi dari luar itu yang bermasalah," jelas Zuhdi.

Di samping itu, bahaya ekstremisme juga datang melalui jalur lain, seperti guru sains, guru sosial, ataupun guru mata pelajaran lainnya. Karenanya, cara keempat dalam upaya mempromosikan moderatisme itu adalah  melalui guru.

"Yang keempat, personal gurunya. Nah ini yang saya kira sangat penting. Sebab, sebaik apapun kurikulum sekolah, kalau gurunya punya misi tidak sejalan dengan misi pendidikan nasional ini yang berbahaya," terangnya.

Misi pendidikan nasional itu, menurut Zuhdi, bukan hanya menciptakan siswa yang cerdas dan berakhlak, tetapi juga menjaga kesinambungan bangsa dan negara. Ketidakpercayaan pada pemerintah, penolakan terhadap Pancasila dan UUD 1945, dalam pandangannya, merupakan bagian dari merusak sendi-sendi misi pendidikan nasional. Karenanya, ia melihat bahwa sekolah harus bisa memastikan steril dari guru-guru yang demikian. (Syakir NF/Fathoni)