Nasional

Evaluasi Tiga Tahun SDGs, Kasus Perkawinan Anak Masih Banyak

Rab, 19 September 2018 | 02:40 WIB

Evaluasi Tiga Tahun SDGs, Kasus Perkawinan Anak Masih Banyak

Stop Perkawinan Anak, Sumber: Antara

Jakarta, NU Online
Pernikahan anak terus terjadi di Indonesia. Agustus lalu di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan seorang anak lelaki yang baru lulus Sekolah Dasar (SD) mempersunting remaja perempuan berusia 17 tahun. Berita itu memperpanjang daftar pernikahan anak yang terungkap ke publik. Menurut data Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Sulsel, terdapat 720 kasus pernikahan anak di Sulsel sepanjang Januari-Agustus 2018.

Laporan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada Januari 2017 menunjukkan bahwa Sulsel merupakan salah satu provinsi yang memiliki angka pernikahan anak tertinggi di Indonesia. Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS pada 2015 juga menyebutkan, di antara perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun, 22,82 persen dari mereka menikah sebelum usia 18 tahun. 

Di atas kertas, perkawinan usia anak ini tak hanya terjadi di daerah tertentu saja, sebab pada praktiknya terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Terdapat 20 provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak yang lebih tinggi dibanding angka nasional (22,82 persen). Lima provinsi dengan angka prevelensi terbesar yakni Sulawesi Barat (34,22 persen), Kalimantan Selatan (33,68 persen), Kalimantan Tengah (33,56 persen), Kalimantan Barat (33,21 persen), dan Sulawesi Tengah (31,91 persen).

Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Indry Oktaviani menyatakan tren perkawinan anak semakin menguat dengan semakin terbukanya praktek perkawinan anak di masyarakat. "Upaya masyarakat mempertahankan perkawinan anak ketika negara menolak untuk memberikan legitimasi juga mempertinggi tren tersebut," ujar Indry dalam keterangan tertulis yang diterima NU Online, Selasa (19/9).

Zumrotin K. Susilo, Dewan Pengawas International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menyebutkan, untuk membangun bangsa yang sejahtera, berkualitas dan bebas diskriminasi gender sebagaimana maksud dari Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan maka pernikahan anak di Indonesia harus diakhiri.

Pernikahan anak, kata Zumrotin berdampak pada kemiskinan, kematian ibu juga kualitas bayi yang dilahirkan. "Anak yang menikah dini juga akan putus sekolah sehingga wajib belajar 12 tahun tak terpenuhi," kata Zumrotin. Di samping itu pernikahan anak membuat kekerasan seksual dan kekerasan rumah tangga rentan terjadi sekaligus merenggut hak anak, merujuk Undang-undang tentang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002.

Lebih lanjut menurut Zumrotin penghentian pernikahan anak akan memberi kontribusi pada pencapaian SDGs Tujuan 1, 2, 3, 4 dan 5. Penghapusan pernikahan anak merupakan salah satu indikator SDGs seharusnya tidak sulit dicapai. Penghapusan pernikahan anak harus menjadi komitmen berbagai kementerian antara lain Kemenkes, Kemen PPPA, Kemendiknas, BKKOS Kemensos dan Kementerian Agama. "Selama ini pernikahan anak hanya dianggap urusan Kementerian Agama," ujarnya. 

Upaya pencegahan yang dapat dilakukan dengan memastikan bahwa anak-anak perempuan dapat mengejar pendidikan tinggi dan keterampilan kejuruan, dan menyiapkan peluang masa depan untuk memperoleh penghasilan. SDGs telah menetapkan Tujuan dan Target secara khusus untuk menghapus segala bentuk praktek-praktek perkawinan anak. Tujuan tersebut tertuang di tujuan 5 Target ketiga.  

Siti Khoirun Ni’mah, Program Manager INFID menambahkan pelaksanaan SDGs sudah memasuki tahun ketiga. Masalah perkawinan anak semestinya bisa dipecahkan melalui pelaksanaan dan pencapaian SDGs. Untuk itu, penting adanya peta jalan pencapaian SDGs yang disusun dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. "Sehingga hambatan-hambatan yang terjadi terkait dengan perkawinan anak dapat dipecahkan bersama-sama," ujar Ni'mah. (Ahmad Rozali)