Nasional

Filosofi Kopi dan Teh dalam Politik Menurut Kiai Marsudi Syuhud

Sel, 4 Juni 2019 | 06:15 WIB

Filosofi Kopi dan Teh dalam Politik Menurut Kiai Marsudi Syuhud

KH Marsudi Syuhud (Foto: via Detik.com)

Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud mengibaratkan berpolitik itu seperti saat seseorang akan menentukan pilihan untuk minum kopi atau teh. Walaupun pilihan setiap orang berbeda, namun kedua minuman ini mampu bersanding di satu meja dan menciptakan suasana penuh kehangatan bagi yang meminumnya.

"Berpolitik itu seperti memilih kopi atau teh. Itu pilihan. Kopi dan teh itu wujudnya pun berbeda tapi bisa duduk tinggal bersama di satu meja yang sama," jelas Kiai Marsudi saat diwawancarai salah satu stasiun TV nasional, Senin (3/6).

Jadi menurutnya, hal itu tidak bisa dipaksakan dan disama-samakan karena memang ada pilihan-pilihan yang berbeda. Dengan perbedaan inilah akan semakin melengkapi kebutuhan-kebutuhan hidup bersama layaknya toko di pasar yang menjual berbagai macam dagangan yang berbeda-beda. Ada yang berjualan pakaian, makanan, beras, obat-obatan yang semua dibutuhkan.

Kiai Marsudi mengingatkan bahwa pesta demokrasi pilpres adalah hal yang biasa dan merupakan agenda lima tahunan. Apalagi setelah itu ada bulan suci Ramadhan yang seharusnya menjadi waktu untuk mendinginkan suasana dan instropeksi diri. Setiap individu harus bisa saling menahan dan mendamaikan dimulai dari diri sendiri.

"Yang belum bisa move on (bangkit) itu amat sangat rugi sekali," katanya.

Kultur budaya Indonesia untuk melakukan rekonsiliasi dan mempererat kesatuan kembali  sebenarnya sudah sangat mendukung dan memang sudah diwariskan oleh para pendiri bangsa. Budaya yang ada di Indonesia ini terangnnya, muncul dari sebuah pemikiran yang dilakukan bertahun-tahun oleh nenek moyang bangsa dan kemudian eksis sampai sekarang.

Di antara budaya yang bisa menjadi wahana menyatukan kembali persatuan yang mulai renggang pascapilpres adalah budaya halal bi halal pada saat lebaran. Budaya halal bi halal menurutnya adalah satu-satunya yang ada di dunia.

"Halal bil halal itu adalah ketika saya ada kesalahan, saya minta dihalalkan dari anda. Anda punya kesalahan, saya halalkan dari saya," jelasnya.

Tradisi Halal bi Halal tercetus setelah Indonesia merdeka 1945. Pascakemerdekaan pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun.

Di pertengahan Ramadhan tahun 1948, Bung Karno bertemu KH Wahab Chasbullah di Istana Negara. Kiai  Wahab diminta pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat ini.

"Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahim, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi," kata Kiai Marsudi.

Lalu Bung Karno menilai kata silaturrahmi sudah biasa didengar dan ingin istilah yang lain yang lebih menarik. Akhirnya Kiai Wahab mencetuskan istilah Halal bi Halal. (Muhammad Faizin)