Nasional

Guru Besar IPB: Gus Dur Inspirator Kemaritiman

Ahad, 14 September 2014 | 01:10 WIB

Jakarta, NU Online
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah inspirator kelahiran Departemen Kelautan dan Perikanan (sekarang Kementerian). Hal ini dilakukan lantaran munculnya kesadaran bahwa republik ini sejatinya negara maritim. Meski demikian, isu kemaritiman sudah tercetus sejak era Bung Karno dengan ditandatanganinya Deklarasi Djuanda.
<>
Guru Besar Institut Pertanian Bogor Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri mengatakan hal tersebut kepada NU Online usai diskusi terbatas (FGD) yang digelar di Hotel Grand Sahid Jaya Jl Jenderal Sudirman Kav. 86 Jakarta, Sabtu (13/9).

Masih teringat di benak pria yang lahir di desa pesisir ini ketika Presiden Gus Dur mengangkatnya sebagai Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan ternyata lebih tertarik karena dirinya anak pesisir.

“Sebetulnya Gus Dur ingin saya yang jadi menteri. Tapi karena masih sangat muda, saat itu baru usia 40 tahun. Jadi, disuruh belajar lagi. Kata Ibu Mega, Gus Dur mengangkat saya bukan karena keilmuan di bidang kelautan. Tapi karena saya anak pesisir itu,” selorohnya sembari tertawa riang.

Rokhmin yakin dengan dijadikannya kemaritiman atau kelautan sebagai visi pembangunan Pemerintahan Jokowi-JK akan menjadi dorongan besar untuk memaksimalkan sektor tersebut. Yang penting, para pemangku kepentingan jujur dalam bekerja.

“Saya yakin, jika kementerian dan pemda-nya benar semua akan mudah. Konkretnya, penyuluhan dan pelatihan pasti ditingkatkan,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan era Gus Dur dan Megawati ini.

Ditanya soal langkah awal untuk memberdayakan masyarakat nelayan, Ketua Umum Nelayan dan Tani Indonesia ini mengatakan akan memilih sektor-sektor usaha atau bisnis yang membutuhkan modal teknologi relatif kecil, mudah, dan menguntungkan.

“Perikanan budidaya menjadi pilihan awal yang harus dikembangkan. Budidaya rumput laut bahkan dalam waktu 45 hari bisa panen. Dalam sebulan, rerata penghasilan 2,5 juta rupiah. Kan dahsyat itu,” ujar Rokhmin mencontohkan.

Satu daerah dengan yang lain, lanjut dia, memiliki ciri khas berbeda. “Aneka komoditas yang laku di pasar, penting harus lokal spesifik. Tidak bisa di-gebyah-uyah rumput laut semua, misalnya. Kalau perairan yang jernih kan nggak bisa,” pungkas dia.

Pertajam Cetak Biru Maritim Jokowi

Sebelumnya Rochim mengikuti diskusi terbatas "Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Bahari" bersama sejumlah pakar dan pemerhati kelautan. Ia mempresentasikan hasil risetnya selama bertahun-tahun, khususnya sejak dia menjabat Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Penelitian tersebut terus didalami sebelum akhirnya dilantik Gus Dur menjadi menteri. “Saya terus mengkaji riset saya hingga menjadi Menteri Kelautan di era Bu Mega,” ungkapnya.

Pria kelahiran Cirebon ini menambahkan, Indonesia memiliki potensi pembangunan yang luar biasa. Sayangnya, selama 69 tahun membangun rasanya masih tertinggal jauh dari negeri tetangga. Dalam konteks ASEAN, Indonesia menempati rangking ke-5 dalam kemajuan tekonologi dan kemakmuran ekonomi. Dia mensinyalir adanya paradigma pembangunan yang salah.

“Lihat saja, para nelayan masih miskin dan kekurangan. Mengangkat derajat masyarakat dari prasejahtera menjadi sejahtera kan bukan persoalan teknis semata. Tapi juga struktural. Nah, struktural itu meliputi perbankan, infrastruktur, teknologi, pasar, sarana produksi. Itu hanya mungkin kalau pemerintah punya policy untuk membesarkan bidang kelautan,” kata Rokhmin.

Para tokoh nasional, lanjut Rokhmin, menyepakati bahwa konsep cetak biru (blue print) kelautan menuju Indonesia sebagai poros maritim dunia sangat komprehensif dan terintegrasi sehingga acuan bersama yang hendak dilahirkan layaknya "kitab suci" pembangunan sektor kelautan di republik ini.

Diskusi yang berlangsung hingga siang menghasilkan sejumlah kesepakatan yang akan disampaikan kepada Presiden terpilih Joko Widodo. Selain Rokhmin, narasumber lainnya adalah Wakil Menteri Perindustrian Alex Restraubun, Dr Budi Muliaman, Komisaris Hotel Grand Sahid Jaya Dra SB Wiryanti Sukamdani, dan Ketua Umum HNSI Mayor Jenderal TNI Marinir (Purn) Dr Yussuf Solichien, PhD. Diskusi dipandu Sekjen MBI Mohammad Thoriq. (Ali Musthofa Asrori/Mahbib)