Nasional

Gus Mus: Kearifan Lokal Harus Dijaga Bersama

Sen, 15 April 2013 | 09:29 WIB

Semarang, NU Online
Kearifan lokal harus dijaga dan dikembangkan bersama-sama. Pengembangan itu dilakukan dengan menjaga dan melestarikan budaya bangsa, termasuk budaya Jawa. 
<>
Hal itu disampaikan KH Mustofa Bisri yang akrab dipanggil Gus Mus, wakil Rais Aam PBNU saat mengisi acara seminar nasional dengan tema “Memperkokoh Kearifan Lokal Sebagai Pondasi Pembangunan Karakter Bangsa” di aula I kampus 1 IAIN, Ahad, (14/4).

“Upaya memperkokoh kearifan lokal bangsa, diantaranya kita harus bersama-sama nyengkuyung mengembangkan kearifan lokal. Menghidupkan kembali kearifan lokal dengan melestarikan budaya bangsa, misalnya wayang kulit dan budaya lain di Indonesia. Bagi masyarakat yang lupa terhadap kearifan lokal, ya perlu kita ingatkan,” paparnya.

Wayang itu merupakan kearifan lokal yang tidak melanggar syariat Islam. “Kenapa wayang sebagai cagar budaya bangsa bikinan Sunan Kalijaga atau Raden Said Lokojoyo, salah satu Walisongo kok dijauhi para santri, itu kan harus dirawat dan diuri-uri,” katanya.

Wayang versi Jawa merupakan hasil adaptasi dari kisah Mahabharata dan Ramayana dari India, yang skenarionya sudah dimasuki ajaran-ajaran Islam. Jika mencocokkan wayang Indonesia dengan India tidak sama karena sudah dirubah oleh Sunan Kalijaga. Misalnya, Drupadi dalam versi Mahabarata India itu istrinya orang lima, jadi poliandri, istrinya Yudhistira, istrinya Bima, Arjuna, Nakulo dan Sadewo. Oleh Sunan Kalijaga dirubah Drupadi hanya istrinya Yudistira.

Sunan Kalijaga bikin wayangnya juga memahami aspek Ushuluddin atau dasar-dasar agama, dalil man suwaro suurotan, tidak membolehkan membuat patung manusia. 

Wayang itu bukan manusia, karena matanya cuma satu, makanya dikatakan semata wayang, tangannya beda dengan orang. 

“Sunan Giri gak bisa menghukumi secara fikih, karena itu bukan manusia. Tapi ketika dimainkan Sunan Kalijaga, wayang itu seperti manusia nyata,” tandasnya.

Keseimbangan Dunia-Akhirat

Dia menambahkan, kearifan lokal itu juga terkait dengan keseimbangan dunia dan akhirat, merasa cukup dan bersyukur terhadap pemberian Allah. Karena kearifan lokal itu memandang dunia, intinya memandang dunia itu apa?  

“Jangan menganggap dunia itu segalanya, itu menyalahi kearifan lokal. Kita juga tidak boleh melecehkan dunia bahwa dunia itu gak penting, tapi kita beri nilai berapa dunia itu. Keseimbangan nilai antara dunia dan akhirat itulah yang paling penting,” tambahnya.

Gus Mus mencontohkan, kenapa harus merampok uang rakyat kalau sudah punya uang banyak. Kenapa? Karena memandang dunia itu segalanya. Ini hal pokok yang perlu diperhatikan. 

“Kita harus kembali ke kearifan lokal. Kita memandang dunia itu apa adanya, hanya ampiran, mampir ngombe saja, atau kalo agak lama mampir hotel, rodo suwe,” ungkapnya yang disambut tawa para peserta seminar.

Energi untuk dunia dan energi untuk akhirat itu harus proporsional. Allah berfirman: wabtaghi fiima aatakallah al-daaroh akhirah. Di dunia ini bekerja, tapi juga untuk kebahagiaan akhirat, jangan melulu dunia terus.

“Sebagai orang yang berilmu, kita bisa hidup di dunia sekaligus mementingkan akhirat. Kalo kita punya ilmunya, kita bisa tidur sekaligus beribadah, kita makan sekaligus beribadah, kita tidak makan sekaligus beribadah, kita tidur sekaligus beribadah,” papar pengasuh pesantren Radlautul Thalibin Rembang tersebut. 

Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: Akhmad Shoim