Nasional

Gus Muwafiq: Perbedaan Pilihan Politik, Hal yang Lumrah

Kam, 24 Januari 2019 | 10:55 WIB

Jakarta, NU Online
Kiai kondang asal Yogyakarta, KH Ahmad Muwafiq mengatakan bahwa perbedaan pilihan politik yang terjadi di tengah masyarakat merupakan hal biasa. Saat ditanya wartawan mengenai solusi atas fenomena tersebut, Gus Muwafiq menanggapi dengan ringan. 

Nggak perlu ada solusi. Karena calonnya dua pasti terpecah rakyatnya untuk mendukung (salah satu dari) dua calon presidennya,” katanya di hadapan wartawan, seperti dikutip dari akun Instagramnya, Kamis (24/1).

Dalam penjelasannya ia mengatakan bahwa perbedaan pendapat dan dukung mendukung hingga perpecahan antara kedua pendukung merupakan konsekuensi dari sistem politik yang lumrah. 

“Logikanya, kalau nggak ada calon ya baru nggak ada perpecahan. Apakah memungkinkan? Ya nggak mungkin. Jadi Pemilu dari dulu ya berpecah-pecah dulu, nanti kalau sudah ada yang jadi (presiden) baru bersatu lagi. itu biasa. Ini kelaziman konstitusi,” katanya.

Berdebat dengan santun tanpa ujaran kebencian

Kendati begitu, Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI), Prof Hikmahanto Juwana mengingatkan agar dalam perdebatan politik, masyarakat tetap mengedepankan rasa hormat antara satu dengan yang lainnya. 

Perdebatan politik lantaran perbedaan pilihan yang masih dalam konteks kesantunan akan menghindarkan masyarakat dari dampak buruk pemilu yakni perpecahan sosial yang berlebihan. Untuk itu, masyarakat harus menghindarkan diri dari perdebatan yang mengandung unsur ujaran kebencian.
 
“Di tengah debat calon kandidat yang semakin memanas, sudah seharusnya masyarakat para pendukung para kandidat ini secara rasional dalam mendapatkan informasi apapun dari dunia maya ataupun di dunia nyata untuk dapat menahan diri dari ujaran kebencian saat melakukan berdebatan,” ujar Hikmahanto Juwana di Jakarta.
 
Perdebatan politik yang dilakukan tanpa kesantunan dan kehati-hatian, baik yang terjadi di dunia nyata dan lebih-lebih di dunia maya berpotensi besar menghilangkan substansi perdebatan politik dan mudah terjebak pada ujaran kebencian yang tidak produktif. 

Menurutnya, jika ujaran kebencian ini terus dibiarkan berkembang dalam melakukan perdebatan politik tersebut tentunya akan berdampak pada menyuburkan perpecahan hingga setelah pesta politik kelak berakhir. 

Oleh karena itu,ia meminta pemerintah melalui aparat penegak hukum serta penyelenggara pemilu untuk mengambil tindakan tegas kepada siapa saja yang menggunakan ujaran kebencian. “Jangan pernah pemerintah dan aparat penegak hukum mentolerir ujaran kebencian. Apalagi bila masyarakat tersebut dalam melakukan debat juga sudah menggunakan ancaman kekerasan, ini akan semakin tidak baik bagi keutuhan bangsa ini,” pungkasnya. (Ahmad Rozali)