Nasional JELANG MUKTAMAR KE-34 NU

Gus Nadir Minta NU Independen dalam Sistem Demokrasi

Kam, 21 Oktober 2021 | 01:00 WIB

Gus Nadir Minta NU Independen dalam Sistem Demokrasi

Tangkap layar video Rais Syuriyah PCINU Austalia dan Selandia Baru, Prof Nadirsyah Hosen.

Jakarta, NU Online

Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia dan Selandia Baru Prof Nadirsyah Hosen meminta Nahdlatul Ulama (NU) independen dan berada di barisan rakyat dalam sistem demokrasi.

 

Hal ini disampaikannya saat webinar internasional yang dilaksanakan oleh Rabithah Ma'hid Islamiyyah (RMI) dengan tema Sudut Pandang Politik, Ekonomi, Budaya, dan Revolusi Teknologi pada Rabu (20/10/2021).

 

"Ini menjelang Muktamar NU, jika NU tidak independen terhadap penguasa dan pengusaha maka bagaimana bisa NU mewujudkan keadilan dan nilai kesejahteraan yang abstrak di masyarakat," jelasnya.

 

Menurutnya, NU penting menjaga sikap independensi agar tetap bisa menjaga demokrasi yang berlaku di Indonesia ini tetap memperhatikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. 

 

Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia sepakat memilih sistem demokrasi, NU tidak boleh melupakan kritik atas sistem demokrasi sekarang. Sistem pemilu Indonesia mahal, sehingga kekuatan oligarki menguasai Indonesia.

 

"Sehebat-hebatnya seorang maka untuk menjadi anggota DPR RI kalau tidak punya 5-10 miliar maka sulit jadi DPR RI. Di satu sisi kita menolak khilafah, tapi sistem demokrasi sekarang harus dikritik juga," imbuhnya.

 

Pria yang biasa disapa Gus Nadirs ini mengatakan, posisi NU sangat strategis dengan latar belakang pesantrennya. Terlepas dari kran politik terbuka, pesantren tetap setia dengan gayanya. Sesuatu yang luar biasa.

 

Pesantren tetap menjadi penjaga tradisi intelektual. Melahirkan kitab-kitab, seperti Kiai Afifuddin Muhajir dan Kiai Afifuddin Dimyati Peterongan yang melahirkan kitab berbahasa Arab di kancah Internasional.

 

Kata Gus Nadir, kalau dilihat ke belakang, pada masa khilafah ada sisi positif nya, terlepas dari tragedi, dunia ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat karena mayoritas ulama atau ilmuan menyingkir dari kekuasaan dan politik. Lebih fokus menulis kitab dan mengajar. 

 

"Begitu ulama masuk ke politik, biasanya karyanya tidak lagi lahir. Karena sibuk berproses di politik. Kita bisa dilihat di Indonesia, di era orde baru saja, ketika umat Islam ditekan habis oleh penguasa maka muncul tokoh hebat seperti Gus Dur dan Cak Nurcholish Madjid," tegasnya.

 

Gus Nadir menambahkan, posisi NU penjaga demokrasi berada di luar pemerintah ini membuat penting. Karena begitu keran reformasi dibuka, demokrasi menjadi tatanan baru, maka para ulama sibuk bermain politik praktis. Yang muncul bukan kitab-kitab yang berjilid-jilid, tapi demo yang berjilid-jilid. 

 

"Ulama harus menyampaikan pesan keadilan. Al-Ghazali mengkritik bahwa ulama adalah biang kerusakan rakyat dan penguasa. Di juz dua halaman 238. Kerusakan ulama karena cinta pada harta," ujarnya.

 

Katanya, contoh peran NU yang sangat dibutuhkan terlihat pada proses pemilu 2019 yang menguras energi. 2019 yang lalu, masa kampanye pileg, pilpres, penghitungan suara, penetapan calon sangat menguras energi dan memicu polarisasi.

 

Hemat Gus Nadir, jika demokrasi tidak bisa mendatangkan kesejahteraan, mengikis korupsi dan ketidakadilan. Maka rakyat akan berpaling dan mencari alternatif sistem lainnya. 

 

Karena itu, NU harus jaga demokrasi ini dengan membuka ruang dialog dan kritik. Sehingga kita tidak hanya menolak khilafah, tapi juga menjaga sistem demokrasi yang berkualitas, bermartabat dan bermanfaat.

​​​​​​​

"Partai Islam dan nasional yang jadi pilar demokrasi, juga menghadapi masalah internal. Mereka yang ingin demokratis, tapi mereka sendiri tidak demokratis. Yang menguasai keluarga tertentu, tidak membuka ruang perbedaan, perpecahan. Ini catatan buat kita," katanya.

 

Gus Nadir meminta kaum Nahdliyin belajar dari Afghanistan, alasan Islam moderat kalah di sana. Salah satunya karena membiarkan negara super power mengekploitasi kekayaan alam mereka dan kemudian memaksa demokrasi ala barat.

 

"Penyebab lainnya karena banyak pejabat korupsi dan ulamanya diam atas segala ketidakadilan," tandasnya.


Kontributor: Syarif Abdurrahman
​​​​​​​Editor: Kendi Setiawan