Nasional

Hafidz Tunanetra ini Imami Tarawih di Masjid Gus Dur

Rab, 24 Juni 2015 | 13:00 WIB

Jakarta, NU Online
Shalat tarawih berjamaah di Masjid Al-Munawwaroh komplek kediaman KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Jalan Warung Sila Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Selasa (23/6) malam atau malam ketujuh Ramadhan menghatamkan 1 juz Al-Qur'an dan diimami oleh seorang hafidz tunanetra.
<>
"Sholat Tarawih malam ini akan diimami seorang tunanetra. Namanya Muhammad Nurdin," ujar Imam Besar Masjid Al-Munawwaroh Kiai Ahmad Ahsin kepada NU Online menjelang buka bersama di teras masjid yang akrab disebut Masjid Gus Dur ini.

Muhammad Nurdin (35 tahun), lulusan Pesantren Al-Anwar Desa Goa Kidul, Kecamatan Kaliwedi, Kabupaten Cirebon ini mengaku telah hafal Al-Quran 30 juz sejak usia 26 tahun. Ia mondok di pesantren yang diasuh KH Anwar Maksum, kakak sepupu Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, sejak 2001 hingga 2006.

"Ketika mondok di Cirebon, saya setoran hafalannya langsung satu maqra'. Saya menghafal Quran memakai Quran Braille yang saya dapat dari kota Jogja. Waktu itu memang susah ya nyari Quran untuk kaum tunanetra," tuturnya.

Pria asal Kampung Bojong Pari, Desa Jaya Bakti, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi ini bercerita, ketika masih kecil belajar membaca Al-Quran huruf Braille di Yayasan Pesantren Al-Muawanah di Sukabumi. Setelah setahun, ia pindah mondok di Bandung.

Nurdin mengatakan, awal ketertarikannya menghafal Quran lantaran keinginan belajar kitab kuning kandas. Sebab, belum ada yang ditulis Braille. “Quran aja satu juz itu gede banget. Makanya, wajar kalau susah ditemukan kitab kuning dalam tulisan Braille,” ujarnya.

Oleh kiainya, Nurdin disarankan untuk menghafal Al-Quran saja. “Jadi saya nggak langsung ke Cirebon. Tapi, ke Bandung dulu mondok di Al-Syifa’ khusus belajar Ilmu Qiraat dan Tajwid. Cuma memang waktu itu suara saya kurang memadai. Akhirnya, kiai menyuruh saya menghafal aja,” ungkapnya.

Nurdin lalu mengikuti petunjuk kiainya yang di Bandung untuk mondok Quran di Cirebon. “Saat menerima hafalan saya, Kiai Anwar biasa aja. Jadi, bareng dengan santri yang lain. Apalagi saya sudah mempunyai bekal, tajwid sudah bagus. Jadi langsung menghafal,” ujarnya bangga.

Jika ada anak tunanetra ingin menghafal Al-Quran, Nurdin menyarankan agar mereka belajar Braille terlebih dahulu di Sekolah Luar Biasa. “Memang ada yang model menuntun saja hingga bisa baca. Tapi kan kiai sibuk juga. Teman-teman juga nggak tentu senggang,” tandasnya.

Di tengah keterbatasannya, Nurdin tetap bersyukur karena diberi kemampuan oleh Allah menghafalkan kitab suci-Nya. Ia berharap, anak-anak tunanetra terus berlomba dalam kebaikan. Sebaiknya mereka tidak kalah dengan yang lain.

“Jangan ketinggalan lah sama anak-anak normal. Sekarang kan ada sekolahnya. Banyak juga tunanetra yang pinter, ada yang jadi dosen. Tapi, tantangannya orang tua ini. Setelah dilepas, banyak yang takut ini takut itu. Harus benar-benar tega lah untuk kemajuan anaknya,” pungkasnya. (Musthofa Asrori/Abdullah Alawi)