Nasional 1 ABAD NU

Halaqah Fiqih Peradaban: 4 Perubahan Dunia menurut Gus Yahya yang Harus Direspons NU

Kam, 8 September 2022 | 07:30 WIB

Halaqah Fiqih Peradaban: 4 Perubahan Dunia menurut Gus Yahya yang Harus Direspons NU

Rumadi Ahmad saat menjadi narasumber pada Halaqah Fiqih Peradaban di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah, Kebon Jeruk, Jakarta, Rabu (7/9/2022) (Foto: TVNU/Rizki)

Jakarta, NU Online

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar Halaqah Fiqih Peradaban yang ketiga di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah, Jakarta, pada Rabu (7/9/2022) malam. Halaqah ini sekaligus menjadi rangkaian dari peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-37 Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta. 


Pada kesempatan tersebut, Akademisi NU Rumadi Ahmad menjelaskan berbagai perubahan dunia menurut KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dalam buku ‘Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU’. 


Terdapat empat perubahan peradaban dunia yang ditulis Gus Yahya di dalam buku itu. Pertama, perubahan tata politik dunia terkait peta politik dan identitas agama. Kedua, perubahan demografi atau komposisi penduduk dunia. Ketiga, perubahan standar norma. Keempat, perubahan karena globalisasi. 


“Perubahan-perubahan ini harus direspons oleh NU sebagai bagian dari warga dunia. Kiai-kiai NU harus mengerti hal-hal seperti itu,” ungkap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta itu.


Perubahan Tata Politik Dunia

Rumadi menjelaskan, saat ini sudah ada batas-batas negara. Hal ini berbeda kondisi pada saat belum ada negara-bangsa sehingga selalu ada perang untuk memperebutkan kekuasaan sebuah negara.


Lalu pada awal abad 20, dibentuklah Persekutuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian dibuat aturan mengenai batas wilayah sebuah negara, sehingga tidak boleh lagi ada kekuatan politik yang besar menganeksasi kekuatan politik lain yang lebih kecil. 


“Ada regulasi batas nasional sebuah negara. Tidak bisa, misalnya, Indonesia karena besar menganeksasi Singapura yang kecil. Aturan-aturan itu ada dalam kesepakatan nasional, dulu tidak ada,” ungkap Rumadi. 


Perubahan Demografi


Menurut Rumadi, perubahan ini berimplikasi pada dunia Islam. Dulu, sebuah wilayah didiami hanya oleh satu kelompok agama yang homogen. Namun saat ini, pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain menjadikan dunia semakin heterogen. 


Ia menjelaskan, sekarang di Eropa telah banyak orang yang memeluk Islam. Penduduk Muslim mulai tumbuh di negara-negara barat yang semula sama sekali tidak ada. Perubahan-perubahan sepeti ini, menurut Rumadi mengutip Gus Yahya, membawa dampak terhadap aspek fiqih atau literatur hukum dalam Islam.


“Kalau di dalam Islam itu orang dilarang memilih pemimpin non-muslim. Lalu kalau orang Islam yang menjadi warga negara di Amerika, kemudian dia harus memilih calon presiden yang tidak ada satu pun orang Islam, bagaimana? Percakapan-percakapan seperti itu, menjadi bagian dari perubahan,” terang Rumadi.


Perubahan demografi dunia itu juga berpengaruh pada komposisi masyarakat atau penduduk di Indonesia. Sebab faktanya, warga Indonesia tidak semuanya Muslim. Hal inilah yang kemudian dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Banjar, Jawa Barat pada 2019 lalu, terdapat putusan tentang status Non-Muslim di negara bangsa. 


Perubahan Standar Norma

Ketika dunia berubah, maka akan ada norma-norma baru. Terutama norma yang dirumuskan oleh dunia internasional. Sesuatu yang pada zaman dulu dianggap baik dan normal, lalu karena ada perubahan standar norma ini maka sesuatu tersebut menjadi hal yang dilarang. 


Salah satu contohnya adalah soal perbudakan. Dalam sejarah kehidupan manusia, perbudakan dianggap sebagai sesuatu yang normal. Bahkan di dalam Al-Qur’an diabadikan. Rumadi mencontohkan, jika ada Muslim yang berhalangan berpuasa Ramadhan misalnya, maka salah satu hal yang harus dilakukan untuk membayar puasa itu adalah dengan memerdekakan budak.


“Tetapi ketika sudah ada hak asasi manusia, perbudakan itu diharamkan dunia. Mau tidak mau, umat Islam juga harus ikut di dalam pengharaman perbudakan, atau tidak boleh ada lagi manusia yang dijadikan budak di dunia ini,” jelas Rumadi yang juga Dosen Fakultas Islam Nusantara (FIN) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu.


Globalisasi

Globalisasi ini menghendaki adanya dunia yang nyaris tanpa batas. Sekarang, hanya dengan gadget di tangan, seseorang bisa berselancar sesuka hati ke mana saja, ke belahan dunia mana pun. Tidak ada lagi batas-batas yang bisa menjadi penghalang seseorang untuk berhubungan dengan orang lain di negeri yang berbeda. 


Rumadi menjelaskan bahwa perubahan-perubahan peradaban di dunia itu berpengaruh pada peta kehidupan keagamaan secara internasional. Ia kemudian menunjukkan data dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center terkait populasi agama-agama di dunia. 


Setiap tahunnya, komposisi Muslim mengalami kenaikan. pada tahun 2070, jumlah umat Islam diprediksi akan setara dengan populasi Kristen di dunia. Lalu pada tahun 2100, jumlah Muslim dunia akan lebih banyak dari Kristen. 


“Seperti apa wajah Islam di kala itu? Wajah Islam Indonesia saat ini sedang menjadi perhatian. Mudah-mudahan pada 2070 dan 2100, cara pandang umat Islam dunia itu seperti cara pandang Islam Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah,” harap Rumadi.  


“Kita perlu membincang peradaban-peradaban karena kita melihat fakta-fakta ini. kiai dan santri NU harus mengerti ini. Karena kita adalah bagian dari penduduk dunia,” tegas Rumadi.


Sebagai informasi, Halaqah Fiqih Peradaban ketiga yang digelar di Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta ini juga dihadiri pembicara lain, yakni Katib Syuriyah PBNU KH Sarmidi Husna, Pengurus Lembaga Bahtsul Masail PBNU Nyai Hj Iffah Umiyati Ismail, dan Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta KH Mukti Ali Qusyaeri. 


Diketahui, Halaqah Fiqih Peradaban merupakan agenda PBNU dalam menyongsong usia satu abad NU. Halaqah ini akan digelar di 250 titik se-Indonesia hingga puncaknya nanti digelar Muktamar Internasional Fiqih Peradaban pada Januari 2023. 


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syakir NF