Nasional PROFIL

Ingin Bumikan Al-Qur’an, Terinspirasi Ucapan Gus Dur

Kam, 10 Juli 2014 | 03:06 WIB

Belum banyak yang mengenal sosok dokter muda dr. Mirrah Samiyah di Kabupaten Probolinggo. Namun sudah banyak yang mengenal Namira School di Kota Kraksaan, sebuah sekolah untuk anak dimana dr. Mirrah menjadi pendirinya.
<>
Mia, demikian ia disapa, memang punya latar belakang pendidikan kedokteran. Saat ini dia bahkan menjabat posisi strategis di bidang kesehatan. Yakni, Wakil Direktur RS Rizani Paiton. Namun di luar posisinya itu, Mia adalah sosok yang sangat peduli pada dunia pendidikan. Khususnya pendidikan keagamaan bagi anak-anak.Tak heran, di luar kesibukannya sebagai dokter, perempuan kelahiran 15 September 1983 itu banyak berkecimpung di dunia pendidikan.

Kontributor NU Online berkesempatan menemui Mia di rumahnya tengah santai dengan putranya Muhammad Adziqo Syah Kamil yang masih berusia 4 bulan. Istri dari dr. Rizki Habibie itu menceritakan setelah lulus S-1 di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya pada tahun 2007 silam, dirinya mulai bertugas di bidang kesehatan.

Awalnya Mia membuka klinik sosial kaum dhuafa di Surabaya. Selama 4 (empat) tahun, dirinya menjalani kegiatan itu secara gratis, hingga lulus S-2 tahun 2012. “Melalui klinik sosial ini, Allah SWT memberi banyak rezeki yang tidak disangka-sangka. Saya bisa mengikuti haji plus gratis dari salah satu travel haji di Surabaya. Jadi jangan pernag takut harta habis untuk bersedekah,” ungkap anak kedua dari tiga bersaudara ini.

Setelah lulus S-2, dia pindah ke kampung halamannya di Kecamatan Dringu Kabupaten Probolinggo. “Awalnya sempat ada pikiran malas untuk balik ke rumah. Karena Probolinggo kota kecil. Apa yang bisa dikerjakan di kota kecil? Beda dengan kota besar,” kenangnya.

Namun pikiran itu dengan cepat hilang dari benaknya. Begitu pulang ke Dringu, Mia bergabung dengan RS Rizani Paiton. Namun kegiatannya di rumah sakit itu tidak membuatnya puas. Dia merasa kegiatannya sangat kurang, tanpa diimbangi kegiatan sosial dan keagamaan.

Saat haus aktivitas menyerang, dia langsung terinspirasi oleh kegiatan ibu mertuanya Hj. Malik yang menyibukkan diri dengan Pondok Pesantren Darul Qur’an (PPDAQU) Yusuf Mansyur di Lamongan. Pada awal tahun 2013, dirinya pun membuka rumah Tahfidz PPDAQU Yusuf Mansyur di rumahnya Dringu. Mia pun langsung menikmati kegiatan rumah tahfidz tersebut.

“Rumah tahfidz ini gratis. Saya terinspirasi kata Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid). Hidup itu terima kasih. Jadi hidup itu menerima rezeki dan harus memberi pada yang lain. Dan Alhamdulillah saya diberi kesempatan untuk itu,” tegasnya.

Beberapa bulan setelah rumah tahfidz berdiri, Mia pun berkeinginan meluaskan kegiatan Al Qur’an itu. Kebetulan rumah tahfidz di rumahnya khusus untuk anak-anak.

Niat ikhlas Mia langsung diijabah Allah. Tidak lama kemudian, ada kesempatan untuk memperluas rumah tahfidz di SLB Permata Bentar Kecamatan Gending untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Lalu rumah tahfidz di SPBU Brumbungan Lor Kecamatan Gending untuk ibu-ibu dan rumah tahfidz Namira Scholl Kraksaan untuk anak-anak dan ibu-ibu, hingga kini kegiatan tahfidz Al Qur’an itu berjalan tiap hari.

“Saya ingin membumikan Al Qur’an. Jadi saat ada tempat dan kesempatan, saya langsung buka rumah tahfidz di wilayah lain,” ungkap putri pasangan H. Sholeh Aminuddin-Hj. Siti Khodijah itu.

Saat ini menurut Mia, masih banyak cita-cita yang ingin dia kerjakan. Pada intinya, Mia mengaku ingin mengembangkan pendidikan berkualitas tanpa mengesampingkan pendidikan agama. Termasuk memperluas rumah tahfidz.

“Orang tua menjadi guru besar kehidupan saya untuk tidak pernak takut berkarya, berbagi dan mendorong saya menjadi manusia yang lebih bermanfaat buat ummat,” tambahnya.

Tidak heran, pada tahun 2013 Mia bersama dua saudara perempuannya mempunyai gagasan mengembangkan pendidikan di Kabupaten Probolinggo. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan untuk anak yang tidak hanya mengedepankan akademik, namun juga mengutamakan pendidikan keagamaan. Maka terbentuklah Namira School (Playgroup, Kindergarten dan Daycare/TPA) di Kota Kraksaan. Sebuah lembaga pendidikan untuk anak usia 0-5 tahun.

Namira sendiri akronim dari namanya dan dua saudaranya. Yakni, Nabilah Faza, Mirrah Samiyah dan Fara Nadhia. “Saya dan saudara ingin memberikan pendidikan yang menyenangkan dan berkualitas untuk anak-anak. Tidak kalah dengan kota besar. Jadi, saya sinergikan pendidikan agama dengan akademis. Sebab dua hal itu harus berjalan seimbang. Sehingga terlahir generasi yang hebat dan berakhlakul karimah dari sekolah kami,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Mahbib)