Nasional

Ini Beberapa Faktor Seseorang Menyerang Tempat Ibadah

NU Online  ·  Selasa, 14 Mei 2019 | 19:30 WIB

Jakarta, NU Online
Intelektual Muda Nahdlatul Ulama Gus Ulil Abshar Abdalla mengemukakan beberapa faktor yang membuat seseorang terlibat dalam penyerangan tempat-tempat ibadah penganut agama lain, seperti menyerang gereja.

Faktor pertama, ialah ketidakmatangan atau ketidaksempurnaan seseorang dalam memahami hukum Islam.

“Jadi skill atau keterampilan dia dalam memahami fiqih itu belum sempurna,” kata Gus Ulil saat membacakan kitab berjudul Himayat al-Kanaa’is fil Islam (Menjaga Gereja Menurut Islam) pada Selasa (14/5) melalui video live streamingnya.

Menurut Gus Ulil, persoalan ini terutama terjadi pada kelompok-kelompok ekstrem yang kerap dicirikan dengan semangatnya yang besar dalam beragama, tetapi tidak didukung dengan tingginya ilmu.

Mereka itu, sambungnya, hanya membaca buku karangan ulama-ulama salafi, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, dan Muhammad bin Abdul Wahab. Sebaliknya, mereka tidak mau membaca karangan ulama-ulama lain, seperti Syekh Abu Zakaria al-Anshori, al-Imam al-Nawawi, Syekh Ibnu Hajar al-Haitami.

“Jadi (buku-buku karangan) orang-orang jihadis, ekstremis itu kelihatannya banyak dalil, tapi kalau dikuliti kelihatan sekali, ya, pengetahuan mereka ya hanya sesisi saja, ya, yang dikutip ya itu-itu doing,” ucapnya.

Kedua, tidak mempunyai metode dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, terutama ayat Al-Qur’an dan hadits yang secara spesifik berkaitan dengan hukum ahlul kitab, yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani.

“Mereka ini tidak punya metode yang memberikan kepada mereka-mereka ini satu dasar bagaimana untuk memahami perbedaan-perbedaan antar beberapa hal berikut ini,” ucapnya.

Perbedaan-perbedaan tersebut seperti cara kerja seorang ahli fatwa dan orang yang sekadar menukil pendapat ulama. Menurutnya, menukil pendapat ulama dalam sebuah kitab itu tidak sama dengan orang yang berfatwa karena dalam melakukan cara kerjanya, para ahli fatwa menempuh proses panjang, seperti membaca, berpikir, merenung, hingga memahami konteks turunnya ayat Al-Qur’an atau hadits.

“Jadi gak sekadar menukil saja. Orang-orang (atau) kelompok yang semangat agamanya kadang-kadang berlebihan itu mereka tidak bisa membedakan antara orang yang sekadar menukil pendapat dengan orang yang berfatwa,” jelasnya.

Namun menurutnya, mereka merasa dengan menukil pendapat ulama-ulama seperti Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syekh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan itu membuatnya memiliki kompetensi untuk berfatwa.

Contoh lain adalah ketidakmampuannya dalam membedakan antara hukum-hukum yang telah disepakati oleh para ulama dan hukum-hukum yang diperselisihkan.

“Ini terjadi karena orang tidak punya metode, cara berpikir, fondasi, metodologi yang kuat sehingga tidak bisa membedakan antara dua hal yang berbeda ini,” ucapnya.

Ketiga, dalam memahami konteks yang melatarbelakangi sebab munculnya hukum agama, baik waktu maupun tempatnya, termasuk apakah situasinya biasa atau darurat.

“Padahal hukum agama itu berubah-ubah sesuai dengan illatnya, sesuai dengan alasan kenapa dia (hukum) ada,” ucapnya. (Husni Sahal/Abdullah Alawi)