Jakarta, NU Online
Peneliti Wahid Foundation Ahmad Suaedy menganalisa pendekatan Gus Dur dalam menyelesaikan konflik di Provinsi Aceh dan Provinsi Papua. Suaedy melihat bagaimana Gus Dur mengoperasikan Islam Nusantara dalam menyelesaikan konflik di dua kawasan ini sehingga pada gilirannya muncul otonomi khusus untuk keduanya.
Penelitian ini dituangkan dalam disertasinya yang diujikan pada bulan Mei 2018 lalu di UIN Sunan Kalijaga. Penelitian ini menyoroti secara khusus ikhtiar Gus Dur pada rentang 1999-2001. Penelitian ini dibukukan dan dicetak pada pertengahan November 2018.
“Ada beberapa kritik soal kepresidenan Gus Dur. Ia dianggap oleh pengamat asing lebih banyak menggunakan pendekatan personal dalam konflik Aceh dan Papua. Ia dianggap gagal dan buruk dalam mereformasi kelembagaan. Buku ini membuktikan sebaliknya. Pendekatan personal justru lebih efektif terhadap perdamaian abadi,” kata Suaedy yang juga anggota ombudsman kepada NU Online, Kamis (1/11) pagi.
Suaedy yang juga pengajar pascasarjana UNUSIA mengatakan penelitian dalam bukunya membahas perdaiaman Aceh dan Papua dengan pemerintah RI di era Presiden Gus Dur. Presiden Gus Dur membalik strategi dengan memberikan keadilan, baru kemudian menuntut kesetiaan dengan tiga langkah.
Ia menyebut tiga pendekatan itu adalah pengakuan, penghormatan dan transformasi kelembagaan Negara untuk mengakomodasi mereka. Dengan hal itu, terbangun kewarganegaraan bineka. Ini adalah metodologi Islam Nusantara, yaitu personal, persuasif, dan empati.
“Pendekatan Gus Dur ini Islam Nusantara dan implementatif, bukan lagi wacana,” kata Suaedi.
Pengakuan, kata Suaedi, mengangkat derajat Aceh dan Papua setara dengan WNI lain. Mereka dapat berdialog sejajar. Sementara penghormatan itu dibangun dalam bentuk memberikan kebebasan berkumpul.
“Jaminan keamanaan kebebasan untuk bicara penting sehingga muncul aspirasi substanstif untuk membuat mereka istimewa dan mereka menanggalkan aspirasi merdeka. Mereka memulai mengalihkan aspirasi itu dan kemudian transformasi kelembagaan negara berupa otonomi khusus (otsus) Aceh dan Otsus Provinsi Papua,” kata Suaedy yang juga board Jaringan Gusdurian.
Buku ini rencananya diluncurkan pada akhir November. Buku berisi 488 halaman ini mencoba melihat sisi lain pendekatan Gus Dur sehingga melahirkan keterusterangan dan kehangatan hubungan, jaminan kebebasan berkumpul dan berpendapat, dan perubahan politik serta pergeseran aspirasi di Aceh dan Papua. (Alhafiz K)