Nasional

Ini Konsekuensi bagi yang Telat Mengqadha Puasa Ramadhan

Rab, 11 Mei 2022 | 16:00 WIB

Jakarta, NU Online


Orang yang tidak berpuasa Ramadhan karena alasan perjalanan (safar) jauh yang memenuhi syarat, sakit yang tidak permanen (ada harapan sembuh), lupa niat pada malam harinya, memiliki penyakit ayan, atau memang sangaja tidak berpuasa, mereka wajib untuk mengqadha puasa setelah Ramadhan berlalu. 


Waktu untuk mengqadha puasa bagi mereka dimulai sejak tanggal dua Syawal sampai sebelum memasuki Ramadhan berikutnya. Bagi orang yang terlambat mengqadha puasa sampai datang Ramadhan berikutnya, padahal memiliki kesempatan untuk mengqadha maka memiliki konsekuensi, yaitu selain tetap wajib mengqadha puasa juga wajib membayar fidyah (denda). 


Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam artikel NU Online berjudul Hukum Telat Qadha Puasa hingga Ramadhan Berikutnya Tiba


Sementara bagi orang yang tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha seperti orang yang senantiasa bersafari (selalu dalam perjalanan) seperti pelaut, orang sakit hingga tiba Ramadhan berikutnya, orang yang menunda karena lupa, atau orang yang tidak tahu keharaman penundaan qadha (kecuali yang hidup membaur dengan ulama), maka ia cukup membayar fidyah, tidak wajib mengqadha. 


Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi Banten dalam Kasyifatus Saja (h. 114) berikut, 


فخرج بالإمكان من استمر به السفر أو المرض حتى أتى رمضان آخر أو أخر لنسيان أو جهل بحرمة التأخير. وإن كان مخالطا للعلماء لخفاء ذلك لا بالفدية فلا يعذر لجهله بها نظير من علم حرمة التنحنح وجهل البطلان به. واعلم أن الفدية تتكر بتكرر السنين وتستقر في ذمة من لزمته. 


Artinya, “ Di luar kategori ‘memiliki kesempatan’ adalah orang yang senantiasa bersafari (seperti pelaut), orang sakit hingga Ramadhan berikutnya tiba, orang yang menunda karena lupa, atau orang yang tidak tahu keharaman penundaan qadha. Tetapi kalau ia hidup membaur dengan ulama karena samarnya masalah itu tanpa fidyah, maka ketidaktahuannya atas keharaman penundaan qadha bukan termasuk uzur.” 


“Alasan seperti ini tak bisa diterima; sama halnya dengan orang yang mengetahui keharaman berdehem (saat shalat), tetapi tidak tahu batal shalat karenanya. Asal tahu, beban fidyah itu terus muncul seiring pergantian tahun dan tetap menjadi tanggungan orang yang yang berutang (sebelum dilunasi).” 


Sebagaimana diketahui, ukuran satu mud adalah setara dengan 543 gram menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Sementara menurut Hanafiyah, satu mud seukuran dengan 815,39 gram bahan makanan pokok seperti beras dan gandum. 


Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Syakir NF