Nasional

Islam Nusantara Tidak Mengubah Substansi Ajaran Islam

Kam, 4 Februari 2016 | 08:01 WIB

Islam Nusantara Tidak Mengubah Substansi Ajaran Islam

Rais Syuriyah PBNU, KH Ahmad Ishomuddin.

Jakarta, NU Online
Islam sebagaimana dimaklumi adalah agama yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Untuk seluruh umat manusia sebagai rahmat untuk alam semesta (rahmatan li al-'alamin). Mula-mula Islam diturunkan di wilayah Arab yang kemudian disebarluaskan oleh para juru dakwah ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke wilayah Nusantara. 

Demikian disampaikan oleh Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin melalui akun Facebook pribadinya, Kamis (4/2/2016).

“Oleh karena itu, pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara Islam yang diturunkan di wilayah Arab dengan Islam yang sampai ke Nusantara. Artinya, eksistensi konsep Islam Nusantara tidak dimaksudkan untuk mengubah Islam yang pernah diturunkan di Arab dan tidak pula anti-Arab,” ujar Gus Ishom.

Islam Nusantara, lanjutnya, mengupayakan terwujudnya ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Justru Islam Nusantara lahir karena watak Islam sendiri yang rahmatan li al-'alamin. Ajaran Islam--sebagaimana juga dimaklumi--secara garis besar terdiri dari tiga bagian besar. Pertama, aqidah yang merupakan fondasi dalam beragama, berisi tentang apa yang wajib diyakini dengan sebenar-benarnya. Kedua, syari'ah dan fikih. Ketiga, akhlak dan tashawwuf.

Ajaran Islam dalam kategori pertama yang berkaitan dengan akidah dan kategori ketiga yang berkaitan dengan akhlak/tashawwuf bukanlah ranah garapan Islam Nusantara, karena kesamaannya dengan yang berada di wilayah selain wilayah Nusantara.

Adapun syari'ah dan fikih yang pada hakikatnya terdiri dari dua bagian, yaitu: Pertama, hal-hal yang sifatnya tetap (al-tsawabit) dan tidak boleh mengalami perubahan, seperti tata cara peribadatan yang sama di kalangan muslim Nusantara maupun wilayah lainnya. Kedua, hal-hal berupa ajaran Islam yang bisa berubah (al-mutaghayyirat) karena pertimbangan waktu, tempat, kondisi dan adat istiadat. 

Bagian kedua ini, tambah Ishom, merupakan lapangan ijtihadiyyah karena dua sebab, yakni (1) keberadaan teks-teks suci baik berupa ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi SAW. Yang terbuka bagi penafsiran atau interpretatif (al-muhtamilat) dan (2) keberadaa persoalan kehidupan yang al-maskut 'anhu (tidak dijelaskan aturannya dalam teks suci), seperti suatu persoalan yang tidak ditemukan dalilnya, baik yang memerintahkan maupun yang melarangnya. “Jadi, wilayah bahasan subtantif Islam Nusantara terbatas pada ajaran Islam yang dimungkinkan berubah karena kedua faktor penyebab tersebut,” tuturnya.

Dengan demikian, imbuhnya, substansi Islam Nusantara diantaranya menyoroti gagasan tentang pentingnya nasionalisme religius yang di dalam terimplementasikan dua tugas pokok negara yakni menjaga eksistensi agama dan mengatur kehidupan dunia agar lebih aman, damai (tidak saling menumpahkan darah), harmonis dan makmur. 

Selain itu, juga menyoroti ajaran Islam yang secara moderat menghargai dan akomodatif terhadap adat istiadat dan budaya setempat terutama di wilayah Nusantata selama tidak dilarang dalam ajaran Islam, sesuai kaidah fikih yang dikemukakan oleh Ibn 'Uyainah, "la yanbaghi al-khuruju min 'adati al-nas illa fi al-haram".

“Pendek kata, Islam Nusantara adalah prototype ajaran Islam moderat yang ramah, yang rahmatan li al-'alamin dalam bingkai paham Ahlussunnah wal Jama'ah an-Nahdliyah yang berurat berakar di bumi Nusantara lagi patut menjadi teladan bahkan bagi umat Islam di wilayah Arab dan Timur Tengah yang hingga kini terus menerus bertikai dan berpecah belah,” pungkasnya. (Red: Fathoni)