Nasional HARLAH KE-73 MUSLIMAT NU

Jamaah Disabilitas yang Terpanggil karena Cinta pada Muslimat NU

Sen, 28 Januari 2019 | 16:30 WIB

Jakarta, NU Online
Selepas shalat Subuh saya melihat seorang pemuda dengan usia antara 20-25 tahun masuk dari pintu utama ke dalam stadion Gelora Bung Karno (GBK), Ahad (27/1) pagi, sekira 5.05 WIB. Pemuda yang mengenakan seragam lengkap Banser dari kepala hingga kaki yang terbungkus sepatu kulit itu mendorong kursi roda yang ditumpangi oleh seorang ibu berusia 60 tahun.

Saya mengikutinya dari belakang. Ia mendorong kursi roda itu secara perlahan dan penuh hati-hati. Kursi roda mulai bergerak masuk bersama jamaah Harlah Ke-73 Muslimat NU ke dalam kerumunan peserta lain yang lebih dulu menyemut di depan kiri panggung utama.

Saya yang menyusulnya dari belakang mencoba bergerak lebih cepat untuk bisa merapat dengan Banser tersebut. Dengan mengulang kata “permisi-permisi” di tengah jamaah kaum ibu, saya terus berusaha mendekat. Saya menyapa Banser tersebut. “Ini ibu sampean? Saya dari NU Online. Saya bisa wawancara dengan ibu ini?”

“Oh ya mas, saya tahu. Sampean bisa wawancara. Ini bukan ibu saya,” katanya dengan senyum sambil terus mendorong perlahan dua tangkai kursi roda.

Percakapan ini hanya terdengar oleh kami berdua karena suara kami berkejaran dengan doa yang dilantangkan dengan pengeras suara di stadion. Ketika tiba di suatu titik kosong terdekat dengan panggung, Banser ini menunduk dan bergeser ke samping kursi roda. Sementara saya menunduk di sebelah kanan kursi roda. Ia mengenalkan saya kepada ibu tersebut.

“Ini orang dari NU Online mau wawancara bu,” katanya.

Ibu yang berseragam batik Muslimat NU ini menoleh ke kanan lalu melemparkan senyum kepada saya. Setelah mengatakan “bisa”, ia kemudian mengangkat kedua tangan, menundukkan kepala, lalu memejamkan mata, dan masuk ke dalam doa bersama, serta mengaminkan doa yang dipimpin dari panggung.

Banser tersebut meninggalkan kami berdua di tengah kerumunan 120.000 jamaah Muslimat NU. Saya sendiri menunggunya berdoa bersama dengan jamaah lain. Doa dibaca cukup lama dari panggung, sekira 20 menit.

Kaki saya mengalami kesemutan karena berjongkok terlalu lama. Dengan mata setengah berkunang-kunang karena kurang istirahat saya baru sadar telah terapit oleh puluhan ribu jamaah Muslimat NU dari semua arah.

“Ada apa mas?” kata ibu yang kaki kirinya dibalut perban cokelat sambil senyum.

Saya harus menyorongkan telinga kiri saya untuk lebih dekat ke sumber suara. Sementara suara pengarahan posisi duduk jamaah dari atas panggung terus menggema untuk menyambut kedatangan Presiden Jokowi. Percakapan kami seterusnya harus bersaing dengan arahan posisi duduk dari atas panggung yang dibantu pengeras suara berkekuatan tinggi.

“Sangat luar biasa. Dengan keikhlasan, tanpa paksaan, jamaah Muslimat NU terpanggil selalu membesarkan organisasinya,” jawab ibu asal Ciamis, Jawa Barat, ketika saya tanya perihal Muslimat NU.

Kalimat yang keluar dari mulutnya sangat lambat dan kecil seperti suara lemah dan letih orang yang berada dalam perawatan di rumah sakit. Ia seperti tampak lelah. Saya tidak menambah lagi pertanyaan karena melihatnya hendak menyampaikan isi pikirannya lebih banyak.

Ia mencoba meneruskan kalimatnya. Ia berharap Muslimat NU tetap bersinar di muka bumi karena Muslimat NU itu suatu organisasi kemasyarakatan, yang bergerak di bidang sosial keagamaan dengan kiprahnya yang selalu positif.

Sampai pada kalimat itu, ia terhenti. Memejamkan mata lalu terisak. Yang saya dengar keluar dari mulutnya hanya kalimat “Masya Allah.” Untuk beberapa kali saya dengar “Masya Allah” tanpa lanjutan lalu menghilang ditelan gerimis yang terus tercurah dari langit. Hampir tiga menit saya hanya mendengar kalimat tersebut.

Ia lalu mencoba menguasai perasaan harunya. Di tengah lautan jamaah Muslimat NU lainnya, ia berharap agar organisasi perempuan NU semakin berpengaruh, “Di mata masyarakat maupun di mata pemerintah. Dengan kepemimpinan Hj Khofifah (Ketua Umum Muslimat NU), saya terpanggil selalu berjuang membesarkan dan menjaga aqidah Ahlusunnah wal Jamaah An-Nahdliyyah.”

Ia mengulangi dua kali kata “Ahlusunnah wal Jamaah An-Nahdliyyah.”

Dengan kalimat-kalimat yang lambat, sesekali memejamkan mata dan menggeser kakinya yang luka ia berharap agar jamaah Muslimat NU untuk tetap setia menjaga NKRI.

“Saya puaaas dengan acara ini. Harapan kami dengan acara ini semoga tetap Presiden mendukung Nahdlatul Ulama,” katanya lambat dengan aksen khas Sunda.

Ia memperkenalkan diri sebagai Hj Lismayati. “Saya Ketua PC Muslimat NU Ciamis, Jawa Barat. Saya pernah mondok di Pesantren Cijantung, Ciamis. Dulu kuliah di Yayasan Darussalam, Ciamis. Usia sudah 60 tahun.”

Hj Lismayati sedikit menunduk ke depan. Ia memperlihatkan kaki kirinya yang terbalut perban cokelat kepada saya. Ketika saya tanya apa yang terjadi, ia menjawab bahwa dua bulan lalu ia mengalami kecelakaan di jalan raya.

“Mohon maaf ya mas. Sudah dulu. Tolong dirapikan bahasanya. Saya kecelakaan di jalan raya dua bulan lalu. Kaki ini patah. Luka patah. Ngantuk belum tidur. Tetapi saya terpanggil ke sini,” kata Hj Lismayati dengan kalimat yang lambat dan mata setengah terkatup.

Adapun Banser muda yang mengawalnya tadi berasal dari Baregbeg Ciamis. Rombongan dari Ciamis ini diantar oleh 17 bus menuju Stadion GBK, Senayan, Jakarta Selatan. Tak lama berselang saya pamit kepadanya, lalu berdiri, memaksa diri berjalan dengan kaki kesemutan dan bergegas keluar dari kerumunan 120.000 jamaah Harlah Ke-73 Muslimat NU. (Alhafiz K)