Nasional

Jika Disahkan, UU Pesantren Jangan Hilangkan Kekhasannya

Rab, 3 Juli 2019 | 22:00 WIB

Jika Disahkan, UU Pesantren Jangan Hilangkan Kekhasannya

Hari kedua Workshop RUU Pesantren, Rabu (3/7).

Bogor, NU Online
Rais Syuriyah PBNU, KH Masdar Farid Mas'udi mengatakan peran pesantren bagi Indonesia dalam mewujudkan negara bangsa tidak dapat dapat diabaikan. Indonesia dengan mayoritas penduduknya Muslim, tidak menjadi negara Islam. Di mana jika suatu pemerintahan negara menamakan diri sebagai negara Islam dimungkinkan justru menjadi diktator dan berlaku sewenang-wenang karena merasa menjadi wakil Tuhan.

Negara dengan jubah agama, kata Kiai Masdar, sangat mungkin menjadi diktator karena merasa mewakili Tuhan. "Indonesia (yang mayoritas penduduknya Muslim) sangat layak menjadi negara Islam, tapi itu tidak dilakukan. Itu karena ajaran para kiai di pesantren yang menerima umat agama lain," kata Kiai Masdar.

Menjadi pembicara dalam Workshop RUU Pesantren di Sahira Butik Hotel, Bogor, Jawa Barat, Rabu (3/7) siang, Kiai Masdar menyebutkan contoh bagaimana para kiai dan ajaran pesantren mengedepankan sikap hormat dan menerima umat agama lain, sehingga masyarakat dapat hidup berdampingan. Salah satunya dalam menerjemahkan 'Arrahmanirrahim'. 

"Ketika kiai memberi makna arrahmanirrahim. Arrahman (diterjemahkan dengan) welas asih Allah 'neng dunya' (kasih sayang Allah di dunia) itu meliputi semua orang. Mereka yang pekerja keras, jujur, profesional, akan mendapat rahman-nya Allah, mendapatkan kesuksesan. Tidak pandang sekte dan agama," kata Kiai Masdar.

Kemudian, kalimat 'arrahim', kiai pesantren menerjemahkannya 'Ingkang welas asih ing dalem akhirat blaka. Kasih sayang Allah di akhirat belaka, artinya hanya untuk orang Islam. "Tidak ada terjemahan seperti ini selain di pesantren," terang Kiai Masdar dalam kegiatan yang digagas Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.

Kiai, Modal Utama Pesantren

Ajaran pesantren yang memajukan masyarakat, tidak lepas dari modal utama pesantren yakni sosok kiai. Hampir semua unsur pokok pesantren adalah kiai. Pesantren mau mengajarkan apa, pertama sekali menjadi dasar adalah kiai tersebut ahli di bidang apa. Karena itulah, ada pesantren yang fokus mengajarkan ilmu fiqih, menghafal Al-Qur’an, tasawuf, hadits, dan keilmuan khusus lainnya.

"Pesantren yang membangun ya kiainya. Lama kelamaan, pesanten yang sangat otonom dan mandiri semuanya bertumpu ke kiai. Ilmunya dari kiai, pondokan yang dibangun juga dari kiai. Kegiaan ekstra seperti bertani, menggarap tanahnya kia," ujarnya.

Namun, saat ini pesantren model tersebut hampir tidak ada. Penyebabnya, mulanya muncul yayasan yang mengakibatkan adanya institusionalisasi dan kharisma kiai harus dibagi-bagi di antara sesama pengurus yayasan. Walaupun, mata ajarnya masih otonom dari ilmu yang dikuasai kiai.

Keterlibatan negara dalam dunia pesantren, sejatinya bertujuan baik. Namun hal itu menyebabkan adanya semacam intervensi. Kiai Masdar mengakui, saat ini tidak ada pesantren yang lepas dari keterlibatan pemerintah.

Hadirnya RUU Pesantren yang kemudian sedang digodok menjadi UU Pesantren, lanjut Kiai Masdar, adalah kehendak sejarah. Jika kemudian UU Pesantren diberlakukan, ada kekurangan dan kelebihannya. Karena itu, akan kembali ke pesantren sendiri untuk menjalankannya atau tidak.

Contoh Ideal Pendidikan Akhlak

Namun demikian, idealnya RUU Pesantren dan nantinya UU Pesantren, jangan sampai menghilangkan kekhasan pesantren seperti disebut di atas. Persoalan keagamaan hendaknya tetap dipelajari di pesantren dengan baik dan kontekstual dengan kehidupan yang kita alami.

"Yang paling penting dari aspek pendidikan agama adalah akhlak, etika, moral. Pendidikan etika selain secara normatif juga sangat membutuhkan model. Model tersebut adalah sosok kiai. Pendidikan tidak sekadar ceramah, dan di pesantren hal itu sangat dimungkinkan," imbuhnya.

Ia menyebutkan di sekolah formal guru hanya menyampaikan ilmu. Kalau ada siswa berbuat buruk, juga tidak dipersoalkan karena pandangan bahwa akhlah lebih dipengaruhi oleh lingkungan dan pergaulan.

Pendidikan akhlak menjadi sangat penting diperhatikan. Dibantu sekian persen tanggung jawab untuk membina personal tetap tumbuh menjadi karakter bangsa Indonesia yang bineka, di mana tumbuhnya konflik sangat potensial.

"Karakter pendidikan pesantren yang inklusif, sederhana, cinta damai, harus terus digarasbawahi oleh lembaga pendidikan, agar negeri ini tetap utuh tidak gampang diprovokasi," tegasnya.

Negara Tetap Harus Beri Ruang

Pembicara lainnya pada sesi tersebut, praktisi pendidikan H Amin Haedari menggarisbawahi, meski pesantren didukung pemerintah, pemerintah jangan habis-habisan. Pesantren milik pemerintah, itu bukan hal yang harus ditangisi. Jika ada pesantren yang tak bisa berdikari, negara berhak dan malah berkewajiban untuk memberikan dukungan.

Sangat bagus bagi dunia pesantren, kata Amin, jika pemerintah melalui UU Pesantren, tetap memberikan ruang kepada pesantren untuk menunjukkan karakternya.

Namun, Amin juga memberikan diskursus, andai UU Pesantren disahkan, jangan sampai timbul pertentangan dari UU atau peraturan pemerintah lainnya. Pertentangan yang dimaksud adalah jika kebijakan dalam UU ternyata berlawanan sehingga tak dapat diberlakukan oleh UU yang lain. 

Selain Kiai Masdar dan Amin Haedari, pada sesi Tantangan dan Implikasi UU Pesantren dalam Aspek Pendidikan, Dakwah, dan Pemberdayaan Masyarakat, juga hadir narasumber Wakil Komisi VIII DPR RI, H Marwan Dasopang.

Workshop pada hari kedua tersebut menyajikan pula pembahasan Tantangan dan Implikasi UU Pesantren dalam Aspek Manajemen dan Kelembagaan Pesantren. Narasumber sesi ini adalah Ketua Forum Komunikasi Pesantren Mu'adalah, KH Amal Fathullah Zarkasyi; dan Abdul Waidl dari PP RMI NU.

Workshop dilanjutkan dengan Perumusan Gagasan Pengembangan Pesantren Paska Diundangkannya UU Pesantren, Sidang Pleno, dan Penyampaian Rekomendasi. Workshop diikuti para pengasuh pesantren dari Jabodetabek, Jawa Barat, dan Banten. (Kendi Setiawan)