Nasional

Ke Pesantren Krapyak, Tamu Afganistan Dikenalkan dengan “Salafi” sampai Bedug

Kam, 13 November 2014 | 08:00 WIB

Yogyakarta, NU Online
Dalam rangkaian kunjungan ke Yogyakarta yang difasilitasi oleh Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, para tamu dari Afganistan mengunjungi Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Beberapa pengajar dari Afghanistan disambut baik oleh keluarga besar pesantren.<>

“Kami sangat terkesan atas sambutan para santri di sini dengan segala suguhan dan sikap ramah yang kami terima. Mencerminkan bagaimana para pelajar (santri) maupun penghuni ma’had (pesantren) menghormati para tamu dan guru-guru mereka,” ujar salah seorang tamu dari Afghanistan yang mengunjungi Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Selasa (11/11) siang kemarin.

Atas nama pengasuh, KH Hilmy Muhammad memperkenalkan seluk beluk Pesantren Al-Munawwir sebagai salah satu pesantren tertua di Nusantara yang fokus dalam pembelajaran tahfidh dan qira-at Al-Qur’an.

Ia menjelaskan bahwa istilah ‘salafi’ dalam frase ‘Madrasah Salafiyyah’ atau ‘Al-Ma’had al-Islami al-Salafi’ yang tersemat di pesantren berbeda dengan apa yang dipahami sebagai ‘salafi’ di Timur Tengah.

Di sini, istilah tersebut tidak identik dengan aliran pemahaman ‘salafi’ ala Wahabi, melainkan suatu penerang bahwa di pesantren tersebut dipelajari kitab-kitab turats karya para ulama salaf. Semisal Minhajul Abidin, Bidayatul Mujtahid, Tafsir al-Baidhawi, dan sebagainya yang dibaca di Ma’had ‘Ali Al-Munawwir.

Para tamu bertanya tentang bagaimana komunitas pesantren bisa bekerja sama dengan unsur-unsur lain di masyarakat, serta bagaimana menjaga agar tidak terjadi konflik antar-sekte yang parah sebagaimana terjadi di negeri mereka. Kiai Hilmy menyampaikan bahwa di Indonesia ada Pancasila yang menjadi perekat segenap unsur masyarakat.

Selain itu, di Yogyakarta ada sosok Sultan yang berperan sebagai pengayom keberagaman warganya. Sehingga potensi konflik yang muncul akibat perbedaan-perbedaan bisa diredam dengan simbol-simbol pemersatu tersebut.

Tak kalah pentingnya, menurut KH Hilmy Muhammad, organisasi-organisasi masyarakat yang berbasis keagamaan di Indonesia memfokuskan kerjanya di bidang sosial, semisal Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyyah. Hal ini menjadi salah satu faktor penting dalam rangka menjaga kerukunan antar elemen bangsa.

Tidak seperti di Timur Tengah yang banyak organisasi keagamaan sebagai afiliasi politik. Sehingga organisasi politik tersebut sangat rentan menyeret-nyeret nama agama, terutama sebagai legitimasi politisnya. Padahal politik bisa sangat kejam. Bukan berarti tidak perlu berpolitik, namun ada baiknya bila organisasi keagamaan –baik di Indonesia maupun Afghanistan- mencurahkan energinya di bidang pendidikan dan sosial. Adapun untuk urusan politik bisa disalurkan dengan jalur yang lain.

Acara diakhiri dengan pemberian kenang-kenangan berupa Kamus Al-Munawwir dan ditutup dengan panjatan doa yang dipimpin pengasuh pesantren, KH. R. Muhammad Najib Abdul Qodir Munawwir. Selepas diskusi, para tamu menyempatkan diri berkeliling lingkungan pesantren, bertanya-tanya tentang fungsi bedug, dan melihat-lihat koleksi perpustakaan. Selanjutnya, rombongan akan berkunjung ke PWNU Yogyakarta. (Zia Ul Haq/Anam)