Nasional

Kedudukan Perempuan dalam Islam Nusantara

Rab, 2 September 2015 | 23:10 WIB

Kudus, NU Online
Berbeda dengan di Arab, kedudukan perempuan di Indonesia bukanlah makhluk domestik. Misalnya, jika di Arab mereka tidak boleh menyetir mobil, di Indonesia boleh.
<>
Ulil Abshar Abdalla pernah menyaksikan di Bekasi, seorang perempuan bercadar naik sepeda motor untuk berjualan sayur. “Pemandangan ini hanya kita bisa temukan di Nusantara,” katanya di Stadium General “Memperbincangkan Islam Arab dan Islam Nusantara” di GOR STAIN Kudus, Selasa (1/9).

Di negara Timur Tengah, kata pria kelahiran pati ini, perempuan adalah makhluk rumahan atau konco wingking.

Hebatnya lagi, lanjutnya, perempuan di masa Kerajaan Islam Pasai pernah dipimpin ratu perempuan. Begitu pula di Indonesia pernah dipimpin Presiden perempuan meski hanya sementara. Hal ini jelas berbeda di negara Amerika yang tidak pernah dipimpin perempuan.

Selain kedudukan perempuan yang tidak domestik, Pengurus PP Lakpesdam NU ini menyebut ciri Islam Nusantara yang cinta damai bukan mengajak perang.

Ia menjelaskan Islam datang ke India, Pakistan, Afganistan serta Afrika Utara dengan jalur perang. Tetapi Islam masuk ke Nusantara melalui pedagang, juru dakwah dan ulama. Mereka berasal dari Persia, Arab, Yaman, India dan sebagainya.

“Alhasil, Islam yang dibawa ke Indonesia tidak suka rebut tetapi suka perdamaian,” katanya.

Terkait politik, kata dia, Islam Nusantara berdamai dengan kekuasaan politik yang ada. “Yaitu menerima NKRI bukan menerima dasar negara yang lain.”

Mengakui NKRI, bagi Islam Nusantara sama artinya dengan menjalankan ruh Islam. Menjalakan etika Islam universal. Begitu pula dengan mengakui demokrasi, pemilu, partai politik, KPK dan sebagainya.

“Kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan etika Islam. Visi Islam yang universal. Islam yang kontekstual yang rahmatan lil alamin. Membuat tersenyum seluruh elemen bangsa yang dilandasi dengan cinta kasih dan kasih sayang terhadap sesama,” pungkas Ulil yang juga politisi Partai Demokrat. (Syaiful Mustaqim/Abdullah Alawi)