Nasional

Kemenag: Survei Indeks Kesalehan Sosial Indonesia Membaik

NU Online  ·  Rabu, 26 September 2018 | 01:00 WIB

Kemenag: Survei Indeks Kesalehan Sosial Indonesia Membaik

Seminar IKS di Jakarta

Jakarta, NU Online
Indeks Kesalehan Sosial (IKS) di Indonesia pada tahun 2018 mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan indeks kesalehan sosial pada penelitian sebelumnya. 

Hal ini diungkapkan Kepala Puslitbang Bimas Islam dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama Muharram Marzuki dalam Seminar Hasil Penelitian Survei Nasional tentang Indeks Kesalehan Sosial 2018 yang digelar oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan di Jakarta Pusat, Selasa (25/9). 
 
Pustlitbang menyebutkan, indeks kesalehan sosial berada pada angka 75,79%. Ada tiga dimensi yang diukur, yakni (1) intern agama, (2) ekstern agama, dan (3) agama dan negara. 

"Ketiga dimensi ini tercermin pada 8 item subdimensi yang terdiri demokrasi (90.47%), tidak menghina (88.26%), good governance (77.34%), konservasi (83.04%), mencegah kekerasan (77.67%), giving atau sikap berbagai (71.27%), menghargai perbedaan (50.10%), tidak memaksakan nilai (79.83%), restorasi (78.77%), caring atau peduli (61.09%)," ujarnya.

Faktor-faktor yang sangat menentukan tingkat kesalehan sosial di antaranya yaitu status perkawinan, perbedaan layanan keagamaan, pendidikan, pendapatan, dan habituasi (kebiasaan) di keluarga.

Perihal hasil angka-angka survei di atas, yakni bersumber dari sampel berjumlah 844 orang yang dipilih secara acak dari 30 kabupaten dan kota di 14 propinsi di Indonesia. Adapun waktu penelitian dimulai dari 15 Mei hingga 1 Juni 2018. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode kualitatif. 

"Penelitian ini memang sudah tugas dari pemerintah untuk melakukan pembinaan kepada umat beragama. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengetahui sejauh mana program yang sudah dicapai pemerintah dalam rangkai mengembangkan nilai-nilai keagamaan,” ujar Marzuki.

Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Abdurrahman Mas’ud mengapresiasi atas keberhasilan tim peneliti yang telah kerja keras dari proses hingga seminar hasil penelitian itu. Pihaknya juga mengusulkan dimensi kejujuran agar dimasukkan dalam item dimensi kesalehanan pada penelitian selanjutnya.

“Ini ke depannya sebaiknya dipertimbangkan, karena kejujuran merupakan nilai universal yang diajarkan semua agama. Terlebih kejujuran juga sebagai nilai penting dalam pesantren yang bagi Mbah Sahal Mahfudh disebut sebagai takhalluq,” terang Mas’ud.

Sekretaris Umum Abdul Mu’thi menanggapi bahwa hasil penelitian ini menunjukkan kesiapan umat beragama dalam menghadapi demokrasi di Indonesia. “Saya kira hasil penelitian ini sekaligus membantah teori barat bahwa agama tidak mampu bersinergi dengan demokrasi. Soal di mana kualitas demokrasi ini perlu kita bicarakan bersama,” tanggap Mu’thi.

Mu’thi melihat faktor paling kuat lahirnya kesalehan sosial tidak lepas dari inklusi (keterbukaan) bersosial seseorang, dibanding dengan faktor kognitif. Maka ia menekankan pentingnya pendidikan, sebab keluarga sangat berperan dalam mengembangkan sikap dan perilaku relasi antar keyakinan. 

“Dimensi vertikal juga tidak bisa lepas dari dimensi horizontal,” sambungnya.

Romo Siswantoko menyoroti rendahnya angka pada item menghargai perbedaan yang hanya mencapai 50,10 persen, sebagaimana hasil riset di atas, perlu digarap dan perhatikan oleh pemerintah. 

“Survei ini sebaiknya diberikan kepada para pemuka agama agar mereka mengajak umatnya untuk mengembangkan kesalehan sosial," sarannya. 

Hasil survei ini rencananya akan diseminarkan kembali beberapa kali dengan kementerian atau lembaga lainnya agar mendapatkan banyak kritikan dan saran sehingga data ini nanti menjadi acuan pemerintah untuk menentukan kebijakan yang sesuai dengan situasi yang dihadapi oleh masyarakat. (M Zidni Nafi’/Muiz)