Nasional

Kesultanan Banten, Satu-satunya Kerajaan yang Punya Catatan Pengadilan Agama

NU Online  ·  Selasa, 1 Januari 2019 | 15:00 WIB

Jakarta, NU Online
Tidak ada kerajaan Islam di Asia Tenggara yang meninggalkan catatan hukum pengadilan. Umumnya, mereka hanya memiliki undang-undang saja. Tapi tidak dengan Kesultanan Banten. Kerajaan yang berkuasa sejak abad 16 ini memiliki catatan tertulis atas hukum yang diputuskan oleh jaksa agung saat itu.

“Baru Kesultanan Bantenlah yang meninggalkan arsip tertulis,” terang Ayang Utriza Yakin, peneliti posdoktoral di Institut de Recherche, Religions, Spiritualités, Cultures, Sociétés (RSCS), Université Catholique de Louvain (UCLouvain), Belgia, saat diskusi di Perpustakaan Nasional lantai 8, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (28/12).

Catatan itu, lanjut Ayang, mulai ditulis pada tahun 1753 M. Wakil Ketua Lembaga Ta’mir Masjid Nahdlatul Ulama (LTMNU) itu menjelaskan bahwa catatan yang tersimpan di Universitas Leiden, Belanda itu terdiri dari empat naskah, 600 halaman naskah asli dan 2000 halaman naskah salinan. Naskah tersebut, katanya, memuat lebih dari 5000 kasus.

Ayang menyangka bahwa naskah tersebut bisa sampai ke Leiden karena kedekatan Snouck Hurgronje dengan Hussein Djajadiningrat, putra Regen Serang Soetadinata. “Saya menduga Snouck Hurgronje mendapatkan naskah-naskah Kiai Peqih Najamuddin dari keluarga Hoessein Djajadiningrat, yaitu (dari) bapaknya Soetadinata karena penguasa setempat,” katanya.

Namun, tesisnya tersebut terbantahkan oleh Witkamp dalam bukunya The Inventory of Manuscripts. Kepindahan naskah itu ke Leiden, kata Ayang mengutip Witkamp, karena dirampas oleh Pemerintah Hindia Belanda dari seorang syekh yang dituduh melakukan perbuatan zindik dengan jumlah naskah 149 buah. Mereka menangkap syekh tersebut dan menyita semua yang ada di rumahnya.

“Diduga, naskah-naskah Kiai Peqih Najamuddin termasuk yang disita oleh Pemerintah Kolonial Belanda,” jelasnya.

Kiai Peqih Najamuddin merupakan sebutan untuk jaksa agung pada masa itu di Kesultanan Banten. Peqih berasal dari bahasa Arab, faqih, yang berarti orang yang ahli fiqih, hukum Islam. Najamuddin, juga berasal dari bahasa Arab yang berarti bintang agama.

“Kadi merupakan jabatan pemegang tampuk wewenang hukum, sementara Kiai Peqih Najamuddin adalah bagi kadi yang berkuasa,” kata santri Tebuireng yang menamatkan studi magister dan doktoralnya di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Perancis itu.

Gelar tersebut kali pertama diberikan kepada Entol Kawista pada masa Sultan Ageng Tirtayasa. Gelar itu masih dipakai sampai Kiai Peqih Najamuddin terakhir Haji Muhammad Adian pada 1855-1856.

Lima ribuan kasus yang termuat dalam catatan yang kemungkinan besar tidak langsung ditulis oleh Kiai Peqih Najamuddin itu melibatkan 400-an laki-laki dan 250-an perempuan. Kasus terbanyak tentang utang-piutang dengan jumlah 600 kasus. Selain itu, talak 90-an kasus, budak 80-an kasus, kesaksian 40-an kasus, dan sebagainya. (Syakir NF/Abdullah Alawi)