Nasional

Ketika KH Ali Yafie Minta Pak Harto Mundur Langsung di Hadapannya

Sen, 27 Februari 2023 | 07:00 WIB

Ketika KH Ali Yafie Minta Pak Harto Mundur Langsung di Hadapannya

KH Ali Yafie wafat pada Sabtu (25/2/2023) pukul 22.13 WIB di RS Premier Bintaro, Tangerang Selatan, Banten. (Foto: Tangkapan layar Youtube)

Jakarta, NU Online 
Rais 'Aam PBNU periode 1991-1992 Anregurutta Haji (AGH) atau KH Ali Yafie wafat pada Sabtu (25/2/2023) pukul 22.13 WIB di RS Premier Bintaro, Tangerang Selatan, Banten. Kepergiannya, menyisakan ilmu dan pelajaran yang berharga bagi Nahdliyin khususnya dan masyarakat pada umumnya.


Salah satu fragmen menarik adalah ketika kiai kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah 1 September 1926 itu, dengan berani meminta mundur Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaanya, langsung di hadapannya. 


Alkisah, di ujung rezim Orde Baru, mahasiswa dan rakyat demonstrasi besar-besaran menuntut adanya reformasi. Salah satu tuntutan mereka adalah agar sang Presiden, yang telah kenyang berkuasa selama 32 tahun itu, mundur dari jabatannya.


Pak Harto, sapaan popular Presiden ke-2 Republik Indonesia itu, merespons dengan mengundang beberapa tokoh pada 19 Mei 1998. Mereka adalah Gus Dur (Ketum PBNU), H Ahmad Bagdja (PBNU), KH Ma'ruf Amin (PBNU), Prof Malik Fadjar (Muhammadiyah), Sumarsono (Muhammadiyah), Emha Ainun Nadjib (Budayawan), Nurcholish Madjid (Direktur Paramadina), KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Yusril Ihza Mahendra (Guru Besar Hukum Tata Negara UI), dan KH Ali Yafie (Ketua MUI).


Menurut catatan Hamzah Sahal di Tirto.id, dua hari sebelum ada undangan resmi, KH Ali Yafie secara informal sudah diberi tahu oleh putranya Helmi Ali melalui telepon. Helmy sendiri mengaku mendapat informasi dari Masykur Maskub, yang waktu itu Direktur Lakpesdam NU. Hampir bisa dipastikan, informasi ini bersumber dari PBNU. Dalam perbincangan lewat telepon, selain memberi informasi, Helmy juga menanyakan kira-kira apa yang akan disampaikan bapaknya di depan Soeharto.

 

Pada artikel yang dimuat Panji Masyarakat mengisahkan bahwa Senin malam tanggal 18 Mei 1998 KH Ali Yafie mendapat telepon dari Probosutejo, adik tiri Pak Harto, memberitahu Selasa pukul 09 pagi 19 Mei 1998, Pak Harto ingin bertemu dengannya beserta sejumlah tokoh lain. Untuk itu, pagi-pagi Pak Probo akan menjemputnya dan mengantar ke Istana.


Selasa bakda subuh, KH Ali Yafie sudah siap dijemput Probosutedjo, singgah sarapan pagi di rumahnya, lalu diantar ke Istana, tiba pukul 08.45.


Ulama sepuh ini, menceritakan pertemuan antara Presiden Soeharto dengan 10 tokoh yang dimulai pukul 09.00 di ruang Jepara, Istana Merdeka, Jakarta. Presiden Soeharto mengatakan, “Silakan bapak-bapak, saya mengundang ke sini untuk mendengar bapak-bapak semua. Saya ingin tahu pandangan bapak-bapak tentang situasi. Bicara apa adanya saja, apa pendapat Anda. Saya jamin tidak akan terjadi… apa namanya… jangan takut,” ungkapnya, yang juga terekam dalam buku trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru, Kejatuhan Soeharto dan Ancaman Pembelahan Bangsa, karya Pemimpin Umum Panji Masyarakat, B.Wiwoho.


Pak Harto, menurut KH Ali Yafie, memberikan isyarat kepadanya yang duduk di sebelah kanan Nurcholish Majid. Tetapi dirinya memberitahu Cak Nur agar yang lain dulu, nanti ia yang terakhir. Maka para ulama berbicara menggambarkan situasi yang terjadi, termasuk tuntutan reformasi yang pada hari-hari itu dikumandangkan para demonstran yang menduduki gedung DPR/MPR sejak 18 Mei 1998.


Adapun yang dimaksud reformasi adalah, pertama, tegakkan supremasi hukum. Kedua, pemberantasan korupsi , kolusi dan nepotisme. Ketiga, mengadili Soeharto dan kroni-kroninya. Keempat, amandemen konstitusi terutama yang membatasi jabatan presiden. Kelima pencabutan dwifungsi ABRI, dan yang terakhir atau keenam adalah, pemberian otonomi daerah yang seluas-luasnya.


Tibalah saatnya pembicara terakhir, KH Ali Yafie menyampaikan rasa syukur atas pembicaraan yang berlangsung di Istana dalam suasana terbuka satu sama lain, dan akrab. Lalu, tanpa tedeng aling-aling ia bicara dengan blak-blakan.


“Bapak Presiden, reformasi itu mempunyai dua makna. Pertama, seperti yang kita bicarakan di sini (perubahan sistem). Yang kedua, reformasi itu artinya 'bapak turun', seperti yang dimaksudkan para mahasiswa di luar sana," kata KH Ali Yafie. 


Sejenak ruangan senyap. Kemudian Pak Harto berkata, ”Iya, kiai, saya paham.” Setelah diam sejenak, Pak Harto melanjutkan, “Tetapi saya tidak mau ini inkonstitusional.” Tak lama KH Ali Yafie meminta pembahasan dilakukan saat itu juga. Soeharto pun setuju. Selepas itu Panglima ABRI Jenderal Wiranto diminta bergabung dalam pertemuan. 


“Bisa dipahami ketika yang berani bicara terus terang adalah Ali Yafie. Latar belakang sebagai orang Makassar yang lazim berbicara blak-blakan pasti memengaruhinya,” tulis Hamzah Sahal, yang saat ini diamanahi sebagai sekretaris LTN PBNU.


Umur KH Ali Yafie yang waktu itu sudah 72 tahun, imbuh Hamzah, tidak memengaruhi sifat bicaranya yang apa adanya, sama seperti ketika ia berseberangan dengan Gus Dur di NU. “Meskipun hanya beberapa patah kata, betapa penting dan bersejarah seorang ulama menyatakan Soeharto sebaiknya mundur langsung di depan mukanya. Dua hari kemudian Soeharto benar-benar lengser,” pungkasnya.


Kontributor: Ahmad Naufa
Editor: Syamsul ArifinÂ