Nasional

Ketum PBNU Jelaskan Sejarah Disyariatkannya Kurban

Rab, 24 Juli 2019 | 03:45 WIB

Ketum PBNU Jelaskan Sejarah Disyariatkannya Kurban

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj

Jakarta, NU Online
Dalam rangka mensyiarkan Hari Raya Idul Adha, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kiai Said Aqil Siroj, mengimbau kepada seluruh umat Islam khususnya warga Nahdlatul Ulama yang mampu untuk berkurban dengan kesadaran hatinya dengan niat yang tulus ikhlas lillahi ta’ala fashali li rabbika wanhar.

“Mari kita ramaikan Idul Adha (tahun) ini dengan berlomba-lomba kita berkurban dengan hewan, yang mampu sapi silakan, yang tidak pun kambing, kerbau, boleh semuanya, dalam rangka mensyiarkan, meramaikan Idul Adha, Hari Raya Qurban,” ajak Kiai Said.

Kiai alumnus Universitas Ummul Qurra Mekkah ini juga juga mengisahkan sejarah disyariatkannya ibadah kurban. Kiai said menjelaskan bahwa, ketika Nabi Ibrahim diperintah oleh Allah SWT untuk mengurbankan putranya, yaitu  Nabi Ismail yang baru berusia sekitar 9 (sembilan) tahun, seorang anak yang tampan, dengan ikhlas Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menyerahkan diri kepada kehendak Allah Swt.

“Perintah Tuhan (kepada Nabi Ibrahim untuk) siap untuk menyembelih putranya sendiri. Artinya apa? Nabi Ibrahim seorang yang beriman yang tanpa ragu-ragu sedikit pun, percaya betul, yakin betul, perintah Allah itu benar dan pasti akan kembali kepada kita, hamba-Nya kalau kita menjalankan perintah-Nya,” jelas Pengasuh Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, Ciganjur, Jakarta Selatan.

Kemudian, lanjut Kiai Said, dengan kemurahan Allah SWT, dibatalkanlah penyembelihan Nabi Ismail diganti dengan gibas atau kambing.

“Dari situlah disyariatkan kita berkurban. Ini (ibadah kurban) juga merupakan salah satu bagian kecil dari ibadah sosial kita,” ucapnya.

Menurut Kia Said, agama Islam itu agama yang menghormati kebersamaan dan kegotong-royongan. Islam adalah agama sosial, agama tamadhun, agama kemasyarakatan.

“Islam agama peradaban, agama budaya, agama kemajuan, kemanusian, keadilan. Semuanya prinsip-prinsip Islam,” imbuhnya.

Di hari-hari tertentu, katanya, semuanya menikmati makan enak seperti di Hari Raya Kurban semuanya makan daging. Orang yang kaya hampir setiap hari bisa makan daging, sementara bagi yang miskin, di Hari Raya Idul Adha harus makan daging agar bisa merasakan kenikmatan hidup.

“Maka bagi yang mampu, sekali lagi, bagi yang mampu mari kita berlomba, berkurban sebanyak-banyaknya. Tidak usah dibatasin, tujuh orang sapi satu. Enggak, satu orang satu sapi pun silakan, kalau memang mampu. Mudah-mudahan pahalanya akan kita dapatkan nanti di akhirat ketika kita pulang ke hadapan Allah,” pungkasnya. (Wahyu Noerhadi/Abdullah Alawi)