Nasional

Ketum PBNU Minta Mendikbudristek Jembatani Pesantren dan Kampus

Rab, 3 November 2021 | 16:30 WIB

Ketum PBNU Minta Mendikbudristek Jembatani Pesantren dan Kampus

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. (Foto: NU Online/Ontiwus)

Jakarta, NU Online
Menteri Kebudayaan, Pendidikan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) RI Nadiem Anwar Makarim bersilaturahim ke Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, pada Rabu (3/11/2021).

 

Pada kesempatan itu, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyampaikan kepada Mendikbudristek Nadiem Makarim bahwa saat ini masih terdapat gap atau jarak intelektual yang sangat lebar antara pesantren dan perguruan tinggi.

 

“Standar keilmuan pesantren itu, misalnya hafal 1000 bait Alfiyah Ibnu Malik, hafal Al-Qur’an, dan khatam (kitab) Fathul Muin dan Fathul Wahab. Itu jadi standar kealiman pesantren. Itu bukan apa-apa bagi perguruan tinggi,” kata Kiai Said.

 

Sementara standar keilmuan di perguruan tinggi atau sekolah umum, Kiai Said mencontohkan, seseorang harus sudah menempuh program doktoral di bidang tertentu. Namun, hal ini juga tidak dipandang sebagai standar keilmuan bagi para kiai di pesantren.

 

“Maka ini bagaimana menjembatani dua standar intelektual ini? Kalau tidak, selamanya akan seperti ini (ada gap intelektual antara pesantren dan perguruan tinggi yang sangat lebar),” terang Pengasuh Pesantren Luhur Al Tsaqafah, Ciganjur, Jakarta Selatan itu.

 

Kiai Said berkisah, suatu waktu pernah ceramah saat buka puasa bersama di kediaman pejabat tinggi negara. Usai ceramah, pejabat ini justru mengaku tidak memahami bahkan baru mendengar soal muatan ceramah keagamaan yang disampaikan Kiai Said.

 

“Saya orang Islam tetapi saya tidak mengerti apa yang dibicarakan kiai tadi. Saya nggak ngerti itu. Saya baru dengar,” kata Kiai Said, menirukan ucapan pejabat tersebut.

 

Padahal ceramah yang disampaikan Kiai Said itu merupakan persoalan-persoalan keagamaan yang umum. Ia menegaskan bahwa hal-hal mendasar dalam agama saja, masih banyak orang Islam yang tidak memahami, apalagi persoalan agama yang lebih mendalam.

 

“Hal yang sangat umum remeh saja banyak orang Islam yang tidak mengerti karena jauh dari pendidikan agama,” terang kiai kelahiran Cirebon, Jawa Barat, pada 68 tahun yang lalu itu.

 

Begitu pula santri ketika mendengarkan pidato-pidato ilmiah yang disampaikan para ilmuwan atau akademisi. Misalnya, Kiai Said mencotohkan, santri dinilai tidak akan paham ketika mendengarkan pidato dari Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek RI Prof Nizam.

 

“Jadi di sini ada perbedaan versi dari cara berpikir yang sangat menganga atau lebar antara standar keilmuan pesantren dengan standar keilmuan perguruan tinggi. Ini perlu cepat-cepat dicari jalan keluar seperti apa. Memang masing-masing punya kelebihan,” jelas Kiai Said.

 

Dikatakan, pesantren memiliki kelebihan karena terdapat minhajut ta’lim. Santri didorong agar hafal 1000 bait Alfiyah Ibnu Malik. Sebuah kitab yang mempelajari tentang tata bahasa Arab. Selain itu, santri juga harus menghafal Al-Qur’an minimal 10 juz.

 

“Ada juga kelebihan yaitu manhajut tadris. Mengamalkan atau mempraktikkan ilmunya. Ilmu tidak hanya sebatas pengetahuan tetapi juga harus dituntut pengamalan ilmunya. Kalau sudah begitu manhajut ta’dib. Membangun nurani yang baik. Santri disiplin dari hati,” terangnya.

 

Kekayaan pesantren
Kiai Said menerangkan, pesantren memiliki kekayaan budaya, salah satunya adalah silaturahim. Meskipun santri sudah tamat dari pesantren, telah jadi tokoh besar, bahkan menjadi kiai dan memiliki pesantren yang lebih besar dari milik kiainya, tetapi akan tetap hormat kepada sang guru.

 

“Alumni Lirboyo, Ploso, Tebuireng, barangkali sudah menjadi pejabat atau konglomerat selalu saja mengadakan silaturahim kepada guru-gurunya atau kiai-kiainya. Ini merupakan kekayaan yang sangat berharga,” katanya.

 

Di pesantren, selama 24 jam nonstop para kiai membimbing santri dengan kelembutan. Sebagaimana Nabi Muhammad membimbing para sahabat selama satu hari penuh tanpa henti. Hal ini berbeda dengan budaya di sekolah umum atau perguruan tinggi.

 

“Yang penting dosen mengajar, tanda tangan, selesai. Kalau di pesantren tidak. Kiai selalu merasa bertanggung jawab agar anak didiknya menjadi anak sukses, 24 jam,” terang Kiai Said.

 

Santri di pesantren pun dengan sangat leluasa bisa melihat aktivitas kiai. Para santri akan menyaksikan cara kiai menerima tamu. Bahkan, santri juga akan melihat cara kiai bergembira, berduka, marah, dan bergaul dengan masyarakat.

 

“Seperti apa kiai marah dan dalam hal apa kiai marah itu akan selalu menjadi contoh bagi para santrinya. Silaturahim itulah nilai yang paling tinggi,” katanya.

 

Namun, silaturahim tidak akan ada artinya jika tidak ditindaklanjuti dengan silatul afkar. Dimaknai Kiai Said sebagai upaya menyeragamkan persepsi atau pemahaman. Karena itu, pertemuan antara PBNU dengan Mendikbudristek Nadiem Makarim tersebut merupakan agenda silatul afkar.

 

“Mari kita samakan pola pikir kita, dasar berpikir kita agar ke depan kita lebih maju, baik, dan sempurna dalam mengelola pendidikan nasional ini,” pungkasnya.

 

 

Dalam pertemuan itu, Mendikbudristek meresmikan dan menyerahkan izin bagi lima Institut Teknologi dan Sains Nahdlatul Ulama (ITSNU). Selain itu, Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (PTNU) juga menerima bantuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah Merdeka 2021 dari Kemendikbudristek.

 

Hadir Ketua PBNU Bidang Pendidikan H Hanif Saha Ghofur, Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Syaiful Huda, dan Ketua Forum Rektor PTNU Prof Maskuri Bakri, serta beberapa rektor dari PTNU yang ada di Indonesia.

 

Pewarta: Aru  Lego Triono
Editor: Aiz Luthfi