Jakarta, NU Online
Pakar Tasawuf KH M. Luqman Hakim menyebut, baik sedekah bumi maupun sedekah laut merupakan budaya ekologis yang disertai doa kepada Allah SWT. Hal itu ditegaskan Kiai Luqman sebab masih ada kelompok tertentu yang menganggap tradisi dan budaya merupakan praktik syirik.
Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor, Jawa Barat ini juga menanggapi putusan hasil Muktamar ke-5 NU tahun 1930 di Pekalongan, Jawa Tengah.
Muktamar NU yang diselenggarakan 13 Rabiuts Tsani 1349 H/7 September 1930 M ini memutuskan bahwa pesta dan perayaan guna memperingati jin penjaga desa (mbahu rekso, Jawa) hukumnya haram.
“Yang dilarang itu perayaan atau pesta memperingati alam jin. Kalau sedekah bumi dan sedekah laut, itu budaya ekologis yang disertai doa kepada Allah SWT,” jelas Kiai Luqman dikutip NU Online, Jumat (19/10) lewat twitternya.
Penulis buku Filosofi Dzikir ini menerangkan, dulu ada ritual punden tapi ditransformasi oleh Wali Songo menjadi slametan. “Akhirnya ada tahlil dan doa. Habis itu makan bersama. Sedekah itu daf'ul bala' (menolak bala’),” ujar Kiai Luqman.
Dia mengungkapkan, dalam kitab Jamal alal Jalalayn (yang menjadi rujukan hukum dalam Muktamar NU 1930), yang dilarang itu minta perlindungan pada jin.
Menurutnya, tradisi itu muncul dari Yaman Suku Hanifah kemudian menyebar ke wilayah Arab. Sejak kedatangan Islam diganti dengan mohon perlindungan kepada Allah.
“Sedekah bumi tidak minta perlindungan pada jin,” tegasnya. (Fathoni)