Nasional

KH Mahrus Ali: Isra Mi’raj sebagai Ujian Keyakinan bagi Manusia

Rab, 27 Mei 2015 | 09:01 WIB

Pati, NU Online
Peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW merupakan kejadian luar biasa yang tak mudah dinalar manusia. Saking luar biasanya, Isra Mi’raj disebut dalam kitab suci Al-Quran sebagai fitnah (ujian) keyakinan bagi semua manusia, khususnya kaum muslimin.<>

Hal tersebut disampaikan KH Mahrus Ali saat didaulat mengisi pengajian dalam rangka Isra Mi’raj dan Haflah Santunan Yatim Piatu yang dihelat di halaman Masjid Jami’ Darussalam Grogolan-Dukuhseti-Pati, Selasa (26/5) malam.

Kiai Mahrus menukil pendapat Syeikh Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi dalam kitab Lubab al-Nuqul fi Bayani Asbab al-Nuzul. Dalam kitab tersebut membahas Firman Allah dalam surat Al-Isra’. Oleh Allah, Isra Mi’raj dibahasakan fitnah (ujian) yang besar bagi semua manusia. Sebab, gegara peristiwa ini, banyak yang semula iman dan Islam mendadak murtad seketika. Pasalnya, akal mereka tidak bisa menerima peristiwa tersebut.

“Waktu itu, orang Mekkah jika bepergian dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha naik unta saja paling cepat sebulan baru sampai. Pulangnya juga sebulan. Jadi, pergi-pulang bisa mencapai dua bulan. Nabi bisa hanya semalam. Bahkan, ditambahi naik ke langit shaf tujuh hingga sidratul muntaha. Padahal, tempat tersebut tidak dekat,” ujar Kiai Mahrus.

Oleh para ahli era masa kini, lanjutnya, diperkirakan jarak sidratul muntaha dari bumi kurang lebih 150 juta tahun perjalanan cahaya. Jadi, bukan 150 juta kilometer.

“Artinya, seumpama ada yang membuat lampu sorot yang paling besar lalu diisi baterai dari 45 pabrik. Kemudian dibawa ke sawah, lalu diarahkan ke langit, kalau memang sinarnya sampai sidrotul muntaha, harus sabar nunggu 150 juta tahun. Coba bayangkan, betapa sangat jauhnya,” ujar Kiai Mahrus.

Oleh karena itu, tambah Kiai Mahrus, Isra Mi’raj dibahasakan sebagai fitnah bagi semua manusia. Menurut dia, jika ada orang bertanya apakah Isra’ Mi’raj itu masuk akal atau tidak, jawabannya mudah. Tergantung akal siapa yang jadi ukuran.

“Akal siapa dulu? Jika akalnya orang yang tak beriman, pasti tidak akan masuk. Tapi kalau akalnya orang beriman harus bisa masuk sebab orang yang beriman harus percaya Isra’ Mi’raj. Kalau tidak percaya malah bisa kafir,” tegasnya.

Kemudian, bagaimana caranya Isra’ Mi’raj bisa masuk akal. Peristiwa ini musti dipahami sebagai kuasa Allah. “Innallaaha qadirun ‘alaa jami’i al-mumkinaat. Allah mampu menciptakan manusia dari tanah. Buktinya, Nabi Adam. 
Jadi, Allah jika berkehendak cukup mengatakan ‘kun fayakun’. Jadilah, maka jadi apa yang diinginkan,” ungkap Ketua LDNU Jepara sekaligus Pengasuh Pesantren Mathaliul Huda Pelang Lor-Mayong ini.

Kedua, pendapat Syeikh Muhammad Ihsan Dahlan, pengarang kitab Siraj al-Thalibin, syarah kitab Minhajul Abidin karya Imam al-Ghazali. Syeikh Ihsan ini merupakan kiai Jawa yang bisa go internasional. Pasalnya, kitab dua jilid tersebut jadi standar mata kuliah Ilmu Tasawuf di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.

Komentar Syeikh Ihsan, kata Kiai Mahrus, banyak wahyu dari Allah yang diterima Nabi cukup di bumi. Khusus wahyu sholat lima waktu, diterima harus melewati peristiwa fenomenal, Isra’ Mi’raj, tempatnya istimewa naik langit tujuh sampai sidratul muntaha tembus hingga mustawa. (Musthofa Asrori/Fathoni)