Nasional PROFIL AHWA PWNU DKI

KH Maulana Kamal Yusuf, Sosok Pembelajar Sepanjang Hayat

Rab, 23 Maret 2016 | 07:01 WIB

KH Maulana Kamal Yusuf, Sosok Pembelajar Sepanjang Hayat

KH Maulana Kamal Yusuf

Jakarta, NU Online
KH Maulana Kamal Yusuf, lahir Paseban Timur, Jakarta Pusat, 25 April 1949. Ayahnya, KH Muhammad Yusuf bin Adlin, seorang qori yang sering tampil di RRI Jakarta dan Istana Merdeka pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Ibunya Hj Siti Rohmah adalah putri H Thabbrani, seorang ulama terkenal pada masanya, atau yang dikenal dengan nama Muallimin Thabbrani Paseban.

KH Maulana Kamal Yusuf, menempuh pendidikan dasar di Perguruan Rakyat. Mulai tahun 1962, ia belajar di Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur, tetapi tidak sampai selesai karena memilih kembali ke Jakarta tahun 1965. Waktu itu orangtuanya khawatir setelah peristiwa 1965. 

Sekembalinya ke Jakarta dan menamatkan pendidikan SMA, ia menempuh pendidikan D3 Jurusan Usluhuddin di Universitas Ibnu Khaldun Jakarta yang saat ini tempatnya beralih menjadi Plaza Atrium, Senen. 

KH Maulana Kamal Yusuf adalah sosok ulama yang tidak pernah berhenti belajar. Rais Syuriyah PWNU DKI Jakarta periode 2011-2016 ini pernah menjadi santri dari Syekh KH Muhadjirin Amsar Ad-Darry, seorang ulama Betawi ahli Falak, pendiri dan pimpinan Pondok Pesantren An-Nida Al-Islam, Bekasi. 

Setelah Muallim Thabbrani Paseban wafat, KH Maulana Kamal Yusuf meneruskan pengajian yang dirintis sejak tahun 1930 tersebut. Puluhan kitab peninggalan para ulama terdahulu dikaji di majelis yang berlokasi di Masjid Jami An-Nur, Paseban, Jakarta Pusat. 

Selain di Masjid Jami An-Nur Paseban, kiai yang pernah menjadi anggota GP Ansor pada tahun 1969 ini, juga mengisi pengajian di berbagai tempat. Saat ini, ada sekitar empat puluh tempat pengajian per pekan yang ia mengisi sebagai penceramahnya, termasuk di Masjid Universitas Indonesia, Salemba. 

Terhadap golongan di luar NU yang terkesan bersikap keras, ia menyikapi bahwa bila memang hal yang disampaikan tersebut adalah kebenaran, memang seharusnya disampaikan dengan tegas. Apalagi di Jakarta ini, bila memerintahkan sesuatu  harus konkret. 

“Kalau tidak menegaskan sesuatu dengan jelas, masyarakat akan kurang mengerti,” terangnya.

Kiai yang sewaktu muda menggemari berbagai macam olahraga seperti sepak bola, bola voli, bulu tangkis, lempar lembing, bahkan atletik dan sekarang masih suka jalan kaki ini sempat menjadi Dewan Penasihat MUI DKI Jakarta, tetapi memilih mundur dari jabatannya pada 2015.

Kepada anak muda NU, ia mengharapkan agar tetap menjaga ajaran NU seperti yang dicetuskan oleh pendirinya yaitu KH Hasyim Asy’ari. Oleh karena itu dalam ta’lim yang ia sampaikan terutama di hadapan generasi muda, ia mengupas ajaran Aswaja dengan cara yang mudah diterima dengan mendasarkan diri pada kitab-kitab karya ulama klasik. (Kendi Setiawan/Fathoni)