Nasional

KH Miftachul Akhyar: Nikmat Dunia Perantara untuk Beribadah

Sen, 11 Oktober 2021 | 01:00 WIB

KH Miftachul Akhyar: Nikmat Dunia Perantara untuk Beribadah

KH Miftachul Akhyar. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar menjelaskan bahwa pada hakikatnya, kenikmatan di dunia ini jangan sampai dianggap sebagai sesuatu yang hakiki, tetapi hanya sebatas perantara untuk menggapai tujuan utama diciptakannya manusia, yaitu beribadah kepada Allah swt.


“Yang kita rasakan di dunia ini bukanlah nikmat (sesungguhnya), melainkan alat untuk kelancaran beribadah. Misal orang memiliki pekerjaan, maka pekerjaan ini (adalah perantara) untuk beribadah,” jelasnya saat ngaji Kitab Al-Hikam di TVNU, pada Jumat (9/10/2021).


Dalam paparannya, KH Miftachul Akhyar melanjutkan, antara kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat bukanlah dua hal yang bernilai sama.

 

Kenikmatan dunia sifatnya fatamorgana dan sementara, sedangkan kenikmatan akhirat sifatnya hakiki dan abadi. Salah persepsi menganggap kenikmatan dunia sebagai kenikmatan hakiki, dapat membahayakan manusia sendiri.


“Karena kita hidup di dunia, silakan cicipi saja kenikmatan yang ada. Jangan menjadi makanan pokok. Mencicipi yang tidak membuat kita lupa bahwa kita adalah makhluk proyeksi akhirat,” tandasnya.


Ia kemudian mencontohkan hal yang kemungkinan disalah persepsi tentang kenikmatan di dunia dalam doa rabbanâ âtinâ fiduniâ ḫasanah wa fil âkhirati ḫasanah. Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat.

 

Menurutnya, ḫasanah di dunia itu bukanlah kenikmatan-kenikmatan materialistik, melainkan amal-amal shalih untuk meraih kebahagiaan di akhirat.


“Jadi, ḫasanah di dunia itu adalah amal-amal shalih, bukan kenikmatan (duniawi) dan kekayaan,” kata ulama kelahiran Surabaya, Jawa Timur itu.


Pada kesempatan itu, KH Miftachul Akhyar juga mengambil contoh ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 172, yaitu yâ ayyuhalladzîna âmanû kulû min thayyibâti mâ razaqnâkum wasykurû lillâh. Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah.


Kata kulû (makanlah) merupakan perintah yang berstatus boleh, bukan wajib atau pun anjuran. Kata ini mengindikasikan kenikmatan dunia, yaitu makan.

 

Kendati terkesan materialistik, kemudian dilanjut wasykurû lillâh (bersyukurlah kepada Allah). Artinya, kenikmatan-kenikmatan duniawi pun harus disyukuri untuk menggapai kebahagiaan akhirat yang hakiki.


“Ada perintah syukur, syukur itu mengakui bahwa semua itu anugerah Allah. Dan anugerah itu diciptakan untuk sesuatu yang penting, yaitu beribadah,” ungkap KH Miftachul Akhyar.


Dunia ibarat kendaraan

Pada kesempatan itu, KH Miftachul Akhyar juga menjelaskan bahwa dunia merupakan ladang untuk beramal guna meraih kebahagiaan akhirat.

 

Hanya saja, ada banyak godaan yang bisa menjadi penghalang seorang hamba untuk mencapai tujuan mulia di akhirat kelak. Ibarat orang berkendara untuk mencapai tujuan tertentu, jika ia terbuai godaan di jalan, sulit untuk sampai tujuan.


“Seperti hlanya sebuah kendaraan. Jika perjalananmu ingin mulus dan lancar, maka tidak akan mengindahkan gangguan-gangguan di jalan,” ungkap Pengasuh Pondok Pesantren Miftsachus Sunnah, Surabaya itu.


Apa yang disampaikan oleh KH Miftachul Akhyar itu bukan berarti mengajak kita untuk meninggalkan dunia sama sekali.

 

Karena dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 77 Allah berfirman, wa lâ tansa nashîbaka minadduniâ wa aḫsin kamâ aḫsanallâh. Dan janganlah kamu melupakan bagian dari (kenikmatan) duniamu dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.


“Jangan lupakan bagianmu di dunia, tapi (juga) jangan ngoyo (terlalu berambisi mencari dunia), jangan terlalu tamak. Berilah porsi yang lebih banyak untuk kepentingan akhirat,” pungkas KH Miftachul Akhyar.


Kontributor: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad