Nasional

Kiai Budi dan Ajaran Sufisme sebagai Kebutuhan Masyarakat Modern

Sen, 10 Juli 2017 | 02:54 WIB

Kiai Budi dan Ajaran Sufisme sebagai Kebutuhan Masyarakat Modern

KH Budi Harjono dan santrinya melakukan tarian darwis pada Sarasehan Rebo Legen di Rumah Cinta Selasa (15/8). Foto: HARSEM

Pria muda itu menuju arah panggung, ketika grup rebana An-Nawawi Purworejo sedang mendendangkan shalawat di depan ratusan hadirin. Dengan memakai kopiah dan baju khas masyarakat tradisional Turki, ia berdiri di pojok kiri panggung, malakukan ritual sebentar dan berputar mengikuti irama musik. Ia berputar-putar ke kiri, puluhan kali, bahkan ratusan kali, dengan kaki tetap bertumpu pada tengah, di titik stabil. 

Banyak hadirin yang terpesona oleh tarian yang ditunjukkan santri KH. Amin Budi Harjono. Kiai Budi – begitu ia biasa disapa – sengaja membawa murid tari sufinya ke acara peresmian Masjid al-Aqsha, di daerah Brengkelan, Purworejo, Jawa Tengah, pada Ahad (8/6) malam. Disela-sela ceramah, kiai yang dikenal dengan puisi dan sastra sufinya inilah, pemuda itu menari-nari, mabuk dalam gelombang cinta ilahi. Tak hanya ceramah, mereka berdua menebar wangi cinta dengan tari sufi.

Sebelumnya, penulis mengenal sosok kiai nyentrik yang doyan humor ini melalui tayangan di Youtube, dalam suatu acara Maiyah Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, kisaran tahun 2011. Pembawaannya yang humoris, puitis dan sarat dengan nilai dan sastra sufi, menarik perhatian khalayak. Dalam bersenandung, suaranya juga cukup lumayan, sedikit di atas rata-rata, meski agak serak-serak.

Malam itu, seperti biasa, usai memberi penghormatan, ia mengawali dengan menyenandungkan puisi untuk memuji kehadirat ilahi rabbi. Ia menoleh ke belakang: melihat puluhan pemuda yang membawa alat musik rebana, dan berkata: “Betapa Indahnya ini semua. Berbagai macam alat musik yang berbeda-beda, ditabuh dan menghasilkan nada-nada yang Indah mempesona,” begitu kira-kira, sebelum kemudian menyamakan perbedaan itu juga ada dalam kehidupan sehari-hari kita.

Menurutnya, salah satu dari sekian banyak budaya di Indonesia, adalah kemampuan orang-orangnya untuk mengalihkan (nyimpekke) hal-hal yang buruk kepada hal-hal yang baik. Misalnya, tradisi menabuh rebana ini adalah pengalihan kultural yang efektif agar para pemuda tak saling memukul sesamanya. Juga, banyak syair shalawat, suluk, lagu, tembang, dll, yang membawa hiburan, kesenangan dan kedamaian, sebagai sarana efektif mengalihkan mulut menggunjing orang lain.

“Jadi, jika Anda para ibu-ibu sekalian melihat suami Anda merokok, jangan melihat merokoknya saja, tetapi merokok lebih baik dari menggunjing dan mencela orang lain. Jadi jangan sekali-dimarahi, syukur-syukur malah dibuatkan kopi yang nasgitel – panas, legi, kentel,” celetuknya, disambut riuh para lelaki.

“Alhamdulillah, hari ini anak saya sudah sembilan,” selorohnya, diikuti gelak-tawa hadirin. “Maksud saya, semua dari kita disini, jika kita berniat menebar kebaikan, ia akan tumbuh dan beranak-pinak, seperti halnya biji jagung yang ditanam. Makanya, para petani yang sudah sumeleh itu damai, karena makrifat, bahwa dibalik sebiji jagung itu, bisa tumbuh pohon jagung, berbuah berlipat ganda, dan dapat menjadi kebun kebaikan yang luas,” terangnya.

Ia juga mengajak agar kaum Muslimin untuk meluberkan maaf, saling khusnudzon, atau berprasangka baik kepada sesama manusia, yang hal ini telah membudaya dalam tradisi halal bihalal. “Keburukan adalah kebaikan yang belum terkuak kulitnya,” tuturnya. Keburukan yang kita saksikan, hematnya, bisa jadi adalah cerminan dari perilaku kita.

“Tradisi saling berkunjung, sungkem, silaturrahmi atau halal bihalal ini hanya ada di Indonesia. Dan ini bukan ngawur. Berabad-abad lalu, ketika peristiwa Fathu Makkah (pembebasan kota suci Makah), baginda Nabi dan para pengikutnya memasuki Makkah, setelah sekian lama terusir dari tanah airnya, dan ketika kekuatannya sudah begitu kuat, beliau tidak balas dendam, justru meminta umat Islam untuk memafkan,” tuturnya yang disampaikan dengan suluk yang Indah.

Setelah kurang lebih tiga jam berceramah tentang banyak hal, yang kebanyakan berisi nilai-nilai sufisme dan cinta, Kiai Budi mengakhiri ceramahnya. Saya beserta rombongan, yang kebanyakan dari anak-anak IPNU dan PMII, tidak serta-merta pulang. Usai makan malam di kediaman tuan rumah, kami menemui Kiai Budi yang masih duduk santai bersama Usman Arrumi – penyair muda NU asal Demak yang kini masih studi di Al-Azhar, Kairo, Mesir – dan beberapa orang di dalam masjid, untuk berdiskusi dan tukar-pikiran. 

Kami duduk melingkarinya, dan dengan penuh kehangatan, ia menerima kami dan diskusi secara humoris dan penuh cinta. Diantara hal yang saya tanyakan dalam jagongan santai itu adalah: bagaimanakah prospek sufisme dalam dunia modern-industrial? 

Justru nilai-nilai sufismelah, jawabnya, kebutuhan yang paling kompatibel dan dibutuhkan orang-orang modern, karena mereka terpaku kepada hal-hal yang materi, sehingga mengalami kekeringan atau kehausan spiritual. Hal-hal materi yang diburu, lanjutnya, hari ini sudah banyak yang lebih bersifat sekunder, yang kadang justru mengorbankan yang primer, yaitu spiritualitas. 

“Bagaimana sufisme melihat Barat dengan kemajuan teknologinya yang sedemikian hebat?” tanyaku. “Kamu itu, terlalu inferior dengan Barat,” jawabnya singkat. Sambil menghisap rokok yang ada ditangannya, ia melanjutkan. “Di kita itu banyak teknologi baik itu tampil dalam bentuk budaya, makanan, dan lain-lain. Ukuran kemajuan yang paling penting, hemat saya, adalah orangnya, dan Indonesia memilikinya,” imbuhnya.

Ia mencontohkan, orang Indonesia bisa mengolah satu makanan menjadi beraneka ragam. Ketela misalnya, jika di luar negeri mungkin cuma direbus, disini bisa menjadi aneka warna makanan. “Untuk menemukan itu dibutuhkan kecerdasan dan budaya. Itu juga teknologi,” terangnya. Belum lagi, imbuhnya, budaya orang-orangnya, misalnya wayang. “Dari sisi budaya, yang paling banyak alatnya tentu itu yang paling berkelas, dan wayang dalam hal ini yang paling variatif dan orkestratif, dibanding alat musik lain,” terangnya.

Dari sisi manusianya, kata Kiai Budi, manusia Indonesia yang dekat dengan ajaran sufisme, akan mampu bersaing dengan negara-negara dunia. Negara Indonesia sudah disediakan oleh Tuhan alam yang begitu subur dan melimpah kekayaannya, dengan hutannya sebagai paru-paru dunia. Dari segi orang-orangnya, juga banyak orang luar negeri yang tertarik untuk hidup di sini karena nyaman, merasa dimanusiakan dan mampu berdamai dengan keadaan. Dengan kearifan dan kebijaksanaan – sesuatu yang orang modern dan bahkan negara barat jarang miliki – Indonesia, menurut Kiai Budi, berpotensi menjadi pemimpin dunia.

“Mana ada tradisi ngobrol, jagongan dan santai seperti kita di sini. Ini terjadi dimana-mana. Meski ‘tak jelas’ obrolannya. Manusia Indonesia – bisa sejenak – terbebas  dari belenggu rutinitas, pencapaian dan orientasi duniawi, dan hal-hal yang merenggut kebahagiaannya, untuk menjadi manusia seutuhnya,” tuturnya.

“Apa yang orang modern cari kan ujung-ujungnya sudah ada di Indonesia. Coba apa rasionalisasi dari konsep Go Green, Back to Nature dll – terlepas dari soal wacana ekonomi – toh kita orang Indonesia sudah ada di depan mata, di sekitar kita? Ada yang mengembangkan konsep rumah ramah lingkungan dari berbagai kayu dan bambu: bukankah rumah-rumah orang desa dulu – dan masih banyak kini – juga dari kayu dan bambu? Apa yang orang modern cari sudah ada di negeri kita,” terangnya panjang lebar.

Ketika saya tanya, “Apakah Anda tidak pernah merasa sedih? – karena selalu melambari sesuatu dengan Tuhan dan cinta.” Ia menjawab santai. “Ya jelas punya, dan kadang itu saya merasakan. Hanya saja, saya memiliki kontrol diri untuk menurunkan tensinya. Bahkan ketika kita sendiri-pun, kadang dalam hati kita kan bicara sesuatu. Pertanyaannya: itu suara siapa? Wajarlah kalau Michael Jacson membuat judul lagu Your Not Alone, kamu tidak sendiri. Selalu ada pilihan dalam diri kita, contoh sederhananya, misal ada tamu: apakah kita akan memberinya minuman atau tidak; jika ada orang tua mau menyeberang kita mau menolong atau tidak? Jika kita turuti hal itu terus-menerus, lama kelamaan kita akan menjadi orang yang sibuk dengan “pelayanan cinta” sehingga puncaknya, kita lupa dengan diri sendiri, yang ada hanya Dia,” jelasnya. (Ahmad Naufa/Zunus)