Jakarta, NU Online
Realita dan teks-teks fiqih berjarak cukup jauh seolah-olah teks-teks yang telah dirumuskan oleh para mujtahid menjadi tidak relevan dengan zaman yang semakin berkembang.
Hal demikian menjadi kegelisahan sosok Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1999-2014 KHMA Sahal Mahfudh sehingga melahirkan tulisan yang mendekatkan teks fiqih dan realitas.
"Tentu ini tidak dibenarkan Kiai Sahal melalui bukunya yang mengajak kita untuk mulai berfikir progresif dan menyelaraskan atau menyambungkan antara realita sosial dengan teks-teks fiqih dengan penggagasan pola pikir fiqih sosial," ujar Sarah Lathoiful Isyaroh saat menjadi narasumber pada One Month One Book tentang buku Nuansa Fiqh Sosial Fatayat Nahdlatul Ulama Maroko, Ahad (5/5) malam waktu Maroko.
Adanya peningkatan pemaknaan sosial dan politik di Indonesia memaksa pemaknaan fiqih mengalami pergeseran dari fiqih sebagai paradigma kebenaran ortodoks menjadi paradigma pemaknaan sosial.
"Jika yang pertama menundukkan realitas kepada kebenaran fiqih, maka yang kedua menggunakan fiqih sebagai counter discourse dalam belantara politik pemaknaan yang tengah berlangsung," katanya.
Teks-teks fiqih dalam pemikiran Kiai Sahal, kata Sarah, tidak hanya lagi menjadi formalitas saja melainkan bisa diaplikasikan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Salah satu bentuk interpretasi fiqih sosial yang diungkapkan oleh Kiai Sahal adalah sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan umatnya agar mempunyai keturunan yang banyak. Hadits itu dimaksudkan untuk memperkuat umat Islam itu sendiri dan menjadi sebuah kebanggaan.
"Tentu kita menerima Hadits ini secara tekstual, namun alangkah lebih bagus jika kita selaraskan dengan kontekstualnya zaman sekarang, yaitu dengan tidak hanya penambahan kuantitas populasi umat Islam saja namun harus diimbangi dengan penambahan kualitas, sehingga keduanya akan selaras," kata alumnus Universitas Mohammad V Rabat. (Syakir NF/Muiz)