Nasional

Kontribusi NU terhadap Kajian Islam Nusantara untuk Perdamaian Dunia

Ahad, 5 Februari 2023 | 20:00 WIB

Kontribusi NU terhadap Kajian Islam Nusantara untuk Perdamaian Dunia

Conference Islam Nusantara and World Peace yang diselenggarakan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) di Auditorium Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA) Surabaya, Ahad (5/2/2023).

Surabaya, NU Online

Isu kesetaraan manusia dalam literatur Islam dan lokalitas menjadi salah satu pembahasan Conference Islam Nusantara and World Peace yang diselenggarakan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) di Auditorium Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA) Surabaya, Ahad (5/2/2023).


Mereka membicarakan gagasan Islam Nusantara dalam berbagai perspektif serta kontribusi NU dalam isu kesetaraan. Di antara pembahasnya adalah peneliti dari Belanda Martin Van Bruinessen, Ketua Lakpesdam PBNU Ulil Abshar Abdalla, Syuriyah PBNU KH Ghofur Maimoen, dan Muhammad Syaikhan dari UNUSA Surabaya.


Dalam forum tersebut, Martin mengatakan sejak Muktamar ke-33 NU di Jombang tahun 2015 konsep Islam Nusantara sudah banyak dibahas dan diberi macam-macam syarah baik dari kalangan NU maupun luar NU.


"Saya tidak sempat mendengar semua suara dalam perdebatan itu dan mungkin belum melihat semua tema yang pernah diangkat. Tetapi saya akan bicara sebagai pengamat bukan peserta tentang diskusi yang ada sekarang ini," kata Martin.


Martin kemudian membagi istilah pengertian Islam Nusantara dalam dua aspek. Pertama, kenyataan yang terjadi di masa lalu dan saat ini. Kedua, Islam Nusantara sebagai cita-cita.


"Kita harus sadar bahwa ada kenyataan dan cita-cita yang diciptakan, dilestarikan dan dikembangkan. Tinggal bagaimana NU abad kedua ini memposisikan diri sumbangan apa yang akan diberikan untuk nasional maupun internasional," ucap Martin. 


Sementara itu, Ketua Lakpesdam PBNU Ulil Abshar Abdalla mengaku tergelitik dengan penyampaian Prof Martin yang membagi Islam Nusantara dalam dua pengertian.


"Saya kira ini suatu perbedaan yang sangat bermanfaat dan membantu karena dengan perbedaan seperti ini kita bisa lihat pada level mana kita bisa membaca soal Islam Nusantara," terang Gus Ulil. 


Menurutnya, perdebatan mengenai definisi Islam Nusantara di kalangan NU sudah ada. Apakah Islam Nusantara adalah Islam yang bersifat nusantara atau Islam di nusantara. Perdebatan ini belum ada keputusan resmi.


"Islam Nusantara yang dimaksud tokoh NU adalah mengenalkan Islam Nusantara dalam pengertian kata sifat. Ada sifat-sifat tertentu yang menjadi kualitas Islam berkembang di Indonesia. Kualitas ini kami anggap lebih baik sekaligus sebagai cita-cita ke depan," jelasnya.


Nusantara sebagai kata sifat, ungkap Gus Ulil, relevan diangkat apalagi kata sifat yang berkaitan dengan konsepsi manusia. "Belum ada penelitian khusus tentang tema ini tapi kita bisa berspekulasi bahwa ada cita-cita mengenai manusia," kata Pengampu Ngaji Ihya Ulumuddin itu. 


Tiga tokoh NU mengangkat tentang kemanusiaan

Gus Ulil menyebut cita-cita mengenai manusia pernah dikembangkan oleh tiga tokoh NU yakni Gus Dur, Gus Mus, dan Gus Yahya.


Pertama adalah Gus Dur. Salah satu tema besar yang diusung Gus Dur adalah kemanusiaan. "Meski gus dur punya gagasan melampaui tokoh-tokoh NU tapi apa pun yang dipikirkan gus dur tidak lepas dari background kebudayaan dan kultural NU," bebernya. 


Kedua adalah Gus Mus. Dalam berbagai pidatonya tema yang diulang-ulang Gus Mus ini tentang memanusiakan manusia.


Kemudian Gus Yahya. Pada tahun 2016 bersamaan dengan peluncuran Islam Nusantara ia menggagas pertemuan internasional seperti yang sekarang ini R20.


"Salah satu gagasan yang diangkat adalah humanitarian Islam. Tiga peristiwa ini penting di headline kenapa tokoh NU ini mengangkat tema manusia," tandasnya.


Keputusan NU tentang aspek kesetaraan manusia

Syuriyah PBNU, KH Ghofur Maimoen menyatakan NU sendiri merupakan bagian penting dari Islam Nusantara. Bahkan, gerakan dan keputusan NU erat kaitannya dengan kesetaraan manusia.


Gus Ghofur menyebut beberapa keputusan NU di masa darurat dari mulai berdiri tahun 1926 hingga Muktamar NU di sejumlah daerah.


Pertama, keputusan NU tahun 1936 tentang Indonesia sebagai Darul Islam. Kedua, keputusan NU tahun 1954 pemimpin pemerintah di masa darurat yakni Soekarno.  


Soekarno adalah warga negara dan menjadi pemimpin ditunjuk dengan cara yang benar meski syarat yang disampaikan dalam buku fiqih tidak memenuhi tapi tetap sah.


"Ini kontribusi luar biasa saya pikir tentang Islam Nusantara. Jadi kalau diletakkan di luar nusantara sudah terjadi huru hara tetapi gaya berpolitik Islam nusantara memungkinkan baik," katanya.


Ketiga, keputusan NU ini Munas 1983 pancasila diakui sebagai asas tunggal. Semakin menegaskan bahwa warga negara punya satu ketentuan tidak lagi membedakan kelas.


"Saya pikir perjalanan NU sejak berdiri sampai sekarang selalu memiliki keputusan yang relevan terutama bagi agama dan negara. Kontribusi NU perlu mendapatkan catatan penting," tandasnya.


Kontributor: Suci Amaliyah

Editor: Fathoni Ahmad