Korban Inses Hadapi Dilema antara Stigma dan Kebutuhan Perlindungan
NU Online Ā· Sabtu, 24 Mei 2025 | 20:30 WIB

Ilustrasi: Korban kekerasan seksual termasuk inses mungkin menghadapi dilema antara stiigma dan kebutuhan perlindungan (Freepik)
Rikhul Jannah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Desintha Dwi Asriani mengatakan bahwa terdapat dilema antara stigma masyarakat dan kebutuhan untuk melindungi korban dalam kasus kekerasan seksual sedarah atau inses. Menurutnya, kasus inses merupakan isu sensitif yang sering kali terbungkam dalam masyarakat.
"Masyarakat kita memahami keluarga sebagai tempat yang privat dan personal, tetapi sering terjadi kesalah pahaman dalam memilah mana isu yang personal, mana yang isu publik,ā katanya kepada NU Online pada Sabtu (24/5/2025).
"Ketika persoalan dalam keluarga memberikan ancaman atau menghancurkan kesejahteraan individu, misalnya soal kekerasan, pendidikan yang rendah, perkawinan anak, itu bisa menjadi isu publik," tambahnya.
Desintha menyampaikan bahwa banyak korban yang enggan melaporkan pengalamannya karena merasa tertekan oleh norma sosial yang menganggap urusan keluarga sebagai tabu untuk dibicarakan ke luar.
Menurutnya, kurangnya empati dan keberpihakan terhadap korban menjadi tantangan besar dalam penanganan kasus inses. Ia menekankan bahwa budaya empati dalam masyarakat perlu ditumbuhkan agar tercipta keberpihakan sosial yang dapat meminimalkan potensi terulangnya inses.
āKetika ada kasus, yang dikulik justru siapa pelakunya, kapan, dan dimana kejadiannya, tetapi jarang orang itu fokus kepada korbannya, korbannya dimana, keadaannya sekarang seperti apa, apa yang dia butuhkan? Jarangkan orang itu memikirkan situasi korban saat terjadi kekerasan,ā ungkapnya.
Desintha menyampaikan bahwa dukungan masyarakat dapat dibangun melalui program atau kegiatan edukasi yang bertujuan mengurangi stigma dan menghentikan praktik menyalahkan korban.
āKetika ada korban, kita kompak memberikan support sistem untuk membantu memulihkan kondisi korban, jadi kita tetap mengajak untuk berkegiatan tetapi tidak perlu ditanya-tanya tentang masa lalunya,ā katanya.
āTidak usah mengulik masa lalu, jika mengulik ini sebenarnya akan menghambat korban ini bergabung secara sosial,ā lanjutnya.
Ia menekankan bahwa pencegahan bisa dilakukan melalui lembaga pendidikan dan sosialisasi secara rutin. Sementara itu, secara struktural, penegakan hukum harus diperkuat, terutama karena banyak korban inses berasal dari anak-anak.
Desintha menilai bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak di Indonesia memang sudah ada, namun implementasi dan pengawasannya harus terus diperkuat agar lebih berpihak kepada korban.
āPencegahan (inses) ini semua terlibat, bukan hanya pihak keluarga tetapi pihak sekolah, komunitas di sekitar, atau orang-orang yang memiliki tanggung jawab lebih seperti influencer di media sosial untuk mensosialisasikan tentang bahaya inses dan upaya untuk zero toleranceĀ terhadap segala jenis bentuk kekerasan seksual,ā pungkasnya.
Ā
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Khutbah Jumat: Menyambut Idul Adha dengan Iman dan Syukur
4
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
5
Khutbah Jumat: Jangan Bawa Tujuan Duniawi ke Tanah Suci
6
Khutbah Jumat: Merajut Kebersamaan dengan Semangat Gotong Royong
Terkini
Lihat Semua