Nasional

KPK: Gus Dur Inisiator Pembentukan Lembaga Pemberantasan Korupsi

Rab, 24 April 2019 | 09:15 WIB

KPK: Gus Dur Inisiator Pembentukan Lembaga Pemberantasan Korupsi

Ilustrasi (via The Jakarta Globe)

Jakarta, NU Online
Direktur Pendidikan Pelayanan Masyarakat pada KPK Giri Suprapidiono mengungkapkan, undang-undang pembentukan lembaga pemberantasan korupsi atau regulasi yang melatarbelakangi hadirnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah inisiasi dari pesiden keempat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Menurutnya, tokoh Nahdlatul Ulama itu memiliki komitmen kuat untuk melawan kasus korupsi di Indonesia.

“UU KPK itu yang inisiasi Presiden Gus Dur, ditandatangani Presiden Megawati, dilaksanakan Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), dan dilanjutkan Presiden Jokowi,” kata Giri Suprapidiono saat menjadi pembicara  di lokakarya Pesantren Penggerak (PKP) NU Anti-Korupsi di Pusat Edukasi Anti Korupsi di Jalan H.R Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (24/4).

Ia menceritakan, di Indonesia keinginan membentuk lembaga negara bidang pencegahan dan pemberantasan korupsi sudah ada sejak era reformasi. Menurutnya, hal itu tentu dilatarbelakangi oleh masalah korupsi yang dianggap terus-menerus merugikan negara.

Di era Gus Dur-lah kemudian inisiasi itu muncul yang akhirnya ditindaklanjuti di masa presiden setelah Gus Dur seperti  Megawati, SBY dan Jokowi. Di negara lain, seperti di Singapura, lanjut Giri, lembaga pemberantasan korupsi sudah ada sejak tahun 1952 dan masih ada sampai kini. Termasuk di Hongkong, lembaga pemberantasan korupsi terbentuk tahun 1974 dan kini sudah menjadi lembaga negara yang membantu pemerintah dalam menyelesaikan persoalan korupsi.

Ia menjelaskan, salah satu  indikator mengapa korupsi selalu terjadi di Indonesia karena bangsa Indonesia selalu mengulangi kesalahan yang sama. Kaitannya dengan kerja sama dengan Lakpesdam PBNU, menurut dia, karena KPK tidak dapat  bekerja sendiri, melainkan membutuhkan banyak elemen untuk melawan kejahatan.

“Orang-orang baik harus berkumpul dan mampu menghentikan orang-orang jahat. Karena kejahatan yang dilakukan secara terorganisir, agama kita mengajarkan itu bisa mengalahan kebenaran. Anti-korupsi adalah kebenaran, jadi mari kita berkumpul untuk mengorganisir sehingga kita bisan lawan. Karena prinspinya benar itu harus menang,” ucapnya.

Sementara itu, Peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Rimawan Pradiptyio menuturkan, dalam persfektif ekonomi korupsi yang dilakukan penyelenggara negara telah merugikan masyarakat banyak. Sehingga sangat wajar bila NU mengharamkan korupsi. Untuk itu warga NU harus mau mengampanyekan antikorupsi sampai ke akar rumput.

“Karena kalau saya yang ngomong ya biasa aja pengaruhnya, tapi kalau semua Nahdlyin yang bersuara itu akan sangat besar pengaruhnya,” ujarnya.

Ia menjelaskan, saat ini kasus korupsi menjadi musuh bersama dan hal itu harus ditopang oleh regulasi yang tepat sesuai dengan keadaan yang terjadi di lapangan. Ia mengingatkan, jangan sampai ada regulasi penegakan hukum yang tidak dapat ditegakkan seperti regulasi NJOP pada bidang jual beli tanah.

“Teman-teman NU yang harus akif menggaungkan transparansi,” katanya

Seperti diketahui, saat ini sedang berlangsung kegiatan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU). Dua lembaga itu menggelar Workhsop Pesantren Penggerak (PKP) NU Anti Korupsi di Pusat Edukasi Anti Korupsi di Jl. H.R Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (24/4). Kegiatan digelar dalam rangka penguatan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebab, untuk melawan korupsi, lembaga negara seperti KPK tidak bisa melakukannya sendiri, butuh dukungan dari masyarakat.

Kegiatan yang dibuka Ketua PBNU, KH Robikin Emhas itu akan berlangsung selama tiga hari, diisi dengan berbagai pemaparan materi lokakarya oleh KPK dan PBNU. Selain Giri dan Rimawan, hadir pula Penasihat KPK Budi Santoso, Sekretaris Lakpesdam PBNU H Marzuki Wahid, dan puluhan perwakilan Pondok Pesantren yang ada di Jabodetabek. (Abdul Rahman Ahdori/Mahbib)