Nasional

Kronologi Kasus Pemerkosaan Tiga Anak oleh Ayah Kandung di Luwu Timur

Sel, 12 Oktober 2021 | 11:45 WIB

Kronologi Kasus Pemerkosaan Tiga Anak oleh Ayah Kandung di Luwu Timur

Ilustrasi: kasus pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan oleh ayahnya sendiri. (Foto: projectmultatuli.org)

Jakarta, NU Online

Baru-baru ini media sosial Twitter dihebohkan oleh kasus pemerkosaan tiga anak yang diduga dilakukan ayahnya sendiri. Ini terkuak setelah media Project Multatuli mengungkit kembali kasus tersebut lewat tulisan yang diterbitkan dengan judul Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan.


Melansir dari Project Multatuli, Selasa (12/10/2021), Kejadian itu terjadi di awal Oktober 2019, silam. Bagi para pembaca yang belum tahu kasus tersebut, singkatnya, terdapat seorang ibu Lydia (nama samaran).​​​​​​ berdomisili di Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel), dengan tiga anak.


Dalam reportase yang disampaikan Project Multatuli itu, Lydia menyaksikan sendiri pengakuan ketiga anaknya yang diduga diperkosa oleh ayah kandungnya, mantan suaminya. 


Setelah mendengar pengakuan itu, Lydia melaporkan pemerkosaan yang dialami ketiga anaknya yang masih di bawah usia 10 tahun ke kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Dinas Sosial Luwu Timur. Namun, nahas pihak P2TP2A malah meminta terduga pelaku datang ke kantor, alih-alih melindungi korban.


Merasa dipojokkan dan hasilnya nihil, Lydia melaporkan kasus dugaan pemerkosaan ini ke Kepolisian Resor (Polres) Luwu Timur. Visum pun telah dilakukan di Puskesmas dan bahkan dirujuk ke Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Bidokkes) Polda Sulsel, namun tak kunjung membuahkan hasil dan menduga Lydia punya masalah kejiwaan.


Dua bulan sejak ia membuat pengaduan, polisi menghentikan penyelidikan. Bukan saja tidak mendapatkan keadilan, Lydia bahkan dituduh punya motif dendam melaporkan mantan suaminya. 


Ia juga diserang sebagai orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Serangan ini diduga dipakai untuk mendelegitimasi laporannya dan segala bukti yang ia kumpulkan sendirian demi mendukung upayanya mencari keadilan.


Tak menyerah sampai di situ, Lydia pergi ke P2TP2A Makassar dan dirujuk ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar di akhir Desember 2019. LBH Makassar pun bersedia mendampingi dan meminta gelar perkara.


Akan tetapi, pada 14 April 2020, hasil gelar perkara menyebutkan Polda Sulsel merekomendasi Polres Luwu Timur untuk tetap menghentikan proses penyelidikan.


Dari sinilah LBH Makassar, melalui Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual terhadap Anak, menjadi penasihat hukum Lydia. Saat kasus yang dialami anaknya sudah dihentikan oleh Kepolisian Luwu Timur.


LBH Makassar mengirim surat aduan ke sejumlah lembaga pada Juli 2020. Surat tersebut dikirim ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Ombudsman, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulsel, Bupati Luwu, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri, dan Komnas Perempuan. Tujuannya LBH Makassar meminta untuk melanjutkan kembali proses penyelidikan kasus pidana tersebut.


6 Oktober 2020 telah dilaksanakan juga gelar perkara khusus di Polda Sulsel. Kesimpulan hasil gelar perkara khusus tersebut direkomendasikan kepada penyidik untuk menghentikan proses penyelidikan, juga melengkapi administrasi terkait penghentian penyelidikan.


Kasus ini kembali mencuat setelah tulisan tentang kejadian tahun 2019 lalu dibuat Project Multatuli (7/10/2021) viral di sosial media. Tuntutan untuk melanjutkan penyidikan pun kembali disuarakan.


Berikut 5 fakta perkembangan kasus pemerkosaan tersebut: 


Pertama, LBH Makassar surati Polri, akan tetapi surat yang dilayangkan LBH Makassar tidak direspons sama sekali oleh Mabes Polri.


Hal itu ditanggapi Polri dengan mengatakan bahwa pihaknya masih membutuhkan bukti yang cukup agar penyidikan dapat dilanjutkan. Polri menyebut, setiap bukti baru yang muncul pasti akan didalami penyidik.


“Tidak cukup bukti. Sekali lagi, tidak cukup bukti. Apabila ditemukan bukti baru, maka penyidikan bisa dilakukan kembali,” kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono dilansir NU Online dari unggahan Mata Najwa. 


Kedua, LBH sebut korban tak didampingi saat Berita Acara Pemeriksaan (BAP).


Ketiga, perbedaan klaim hasil visum yang dilaporkan polisi dan pihak pelapor.


Terkait itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga turut mengingatkan Polri untuk melanjutkan penyelidikan pada 2020. Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi menyampaikan, pihaknya telah bertemu dengan aparatur pemerintahan Sulsel, akan tetapi hasilnya masih gamang dan belum jelas.


“Kami sudah bertemu dengan Kapolda Sulses, Wakil Gubernur Sulses ketika itu. Tapi, tetap saja mengalami kebuntuan dengan argumen bahwa hasil visum dari si ibu yang dibilang waham dan anaknya yang tidak ada (bekas) trauma,” kata Edwin.


“Kami tidak bisa berbuat banyak, kami sudah mengupayakan advokasi juga dengan pimpinan Polri di daerah, di situ (Sulsel), namun enggak mengubah posisi penanganan kasus ini,” sambungnya.


Keempat, dugaan adanya maladministrasi, sebab polisi menjadikan hasil asesmen P2TP2A Luwu Timur sebagai alasan dasar dihentikannya penyelidikan.


Kelima, klarifikasi polres Luwu Timur setelah kasus ini kembali mencuat di media sosial.


Kontributor: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad