Dapat dikatakan Muslimat NU telah menjadi bagian kehidupanku sejak kecil. Dan itu terjadi karena nenekku. Dia sering mengajakku ikut perlombaan yang diselenggarkan oleh organisasi perempuan NU itu. Kenangannya tetap berkesan hingga sekarang.
Tentu saja kegiatan Muslimat NU yang paling menyenangkanku adalah pengajian. Biasanya disebut yaumul ijtima atau hari pertemuan. Pada hari itu kami, anak kecil, akan diajak naik mobil sewaan beramai-ramai ke kantor NU di kota. Aku tidak ingat lagi apa yang dibicarakan, sebab perhatianku adalah makanan. Banyak makanan yang jarang ditemui sehari-hari disajikan.
Nenekku bernama Hj. Nonoh Hasanah. Kelahiran Garut pada tahun 1940-an, dia lalu menikah dengan kakekku, KH. Bukhori, yang tiada lain merupakan gurunya. Selain mengajar para santri perempuan di pesantren yang diasuh oleh suaminya, dia aktif mengisi pengajian ibu-ibu di luar. Wilayah teritorialnya cukup luas, meliputi beberapa majelis taklim di Tasikmalaya.
Ketika aku mau tes CPNS di Jakarta, dia mengorganisir jamaahnya untuk mendoakanku secara khusus. Aku selalu terharu mengingat itu. Pada 2007 dia meninggal dunia, setahun setelah aku pindah ke Jakarta.
Jadi, kalau ada acara Muslimat NU, yang selalu terbayang adalah nenekku. Dan seperti nenek-nenek lainnya, dia tidak pernah marah kepada cucunya. Rumahnya yang bersebelahan dengan rumahku adalah tempat pelarian yang sempurna. Selalu saja ada makanan spesial bagi cucu laki-laki tertuanya yang bageur tapi agak cunihin itu.
Ilaa hadaratin nabiyyil musthafa ... Alfatihah ... (Amin Mudzakir)