Nasional

Lima Pandangan tentang Bid’ah Menurut KH Hasyim Asy’ari

Ahad, 25 Februari 2018 | 23:54 WIB

Tangerang Selatan, NU Online
Pembahasan mengenai bid’ah menjadi penting, melihat konteks masyarakat saat ini yang dengan mudah melontarkannya kepada sesama muslim.

Perhatian mengenai bid’ah sudah lama dituangkan oleh Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah: fi Hadits al-Sa’ah wa Bayani Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. 

Dijelaskan ada beberapa metodologi atau cara yang dipaparkan oleh Hadratussyekh secara panjang lebar mengenai bid’ah.

“Namun saya akan mengambil beberapa cara saja yang nanti dapat digunakan sebagai pijakan,” kata Zuhairi Misrawi saat mengisi kajian rutin Islam Nusantara Center (INC) Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (24/2).

Ia menjelaskan lima macam bid’ah mengutip dari kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Pertama, bid’ah yang bersifat wajib seperti mempelajari bahasa Arab.

Sebab tanpa bahasa Arab, seseorang tak akan mampu memahami Al-Qur’an, hadits, serta kitab-kitab karangan para ulama dengan baik.

Al-Qur’an sendiri menurut Imam Ali adalah hammalatul aujuh (mempunyai banyak wajah atau tafsiran), untuk itu menjalankan bid’ah yang ini menjadi wajib.

“Oleh karenanya, pesantren-pesantren NU maupun pesantren-psantren yang didirikan Syaikhona Kholil Bangkalan pasti pesantren bahasa,” ungkap Zuhair Misrawi atau yang akrab disapa dengan Gus Mis. 

Seseorang yang mengerti bahasa Arab, kemungkinan menjadi teroris pun sangat rendah, sebab ia memahami konteks Al-Qur’an dan hadits dengan baik. “Itu sudah menjadi jaminan,” lanjut Gus Mis. 

Cara memahami bahasa Arab itu dapat dilakukan dengan mempelajari Alfiyah Ibn Malik, ‘Imrithi, Jurumiyyah dan ilmu-ilmu alat lainnya. Ia juga berharap kepada kader-kader NU untuk memahami bahasa Arab dengan benar.

Kedua, bid’ah yang bersifat haram seperti yang dilakukan oleh kalangan jabariyah yang katalistik dimana ia mendirikan negara Tuhan dan mengatakan dirinya paling benar, selain itu juga seperti yang dilakukan kalangan qadariyyah yang memberhalakan rasio atau akal serta seperti yang dilakukan kalangan mujassamah.

Ketiga, bid’ah yang bersifat mandub (sunnah). Bid’ah yang jika dikerjakan menjadi baik kalau tidak, tidak akan masalah, seperti membangun sekolah, pesantren, dan mempererat tali silaturahim.

“Sebelum ukhuwah Islamiyah maka dahulukan ukhuwah Nahdliyah,” kata Gus Mis mengutip dari KH Mustofa Bisri.

Keempat, bid’ah yang bersifat makruh, seperti memperindah mushaf Al-Qur’an, menghiasi masjid.

“Menghiasi masjid itu, seperti kubahnya dari emas bangunannya dipermegah. Yang harus diisi itu hatinya ketika di dalam masjid, bukan bangunannya, percuma masjid megah tapi kalau solat jamaahnya kosong,” lanjut Gus Mis. 

Kelima, bid’ah yang bersifat mubah seperti berjabat tangan setelah shalat. “Itu bid’ah tapi diperbolehkan,” terangnya.

Contoh bid’ah lain yang bersifat mubah adalah memperluas tempat makan maupun minum, supaya orang lain kebagian hidangan yang kita sajikan. (Nuri Farikhatin/Fathoni)